Rabu, 20 April 2011

PERAN KEPEMIMPINAN DALAM PEMBENTUKAN PRILAKU DAN BUDAYA ETIS ORGANISASI Oleh: Suyanto

ABSTRAK
Pemimpin suatu organisasi mempunyai peran sentral dan penting dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Pembentukan perilaku dan budaya yang etis bukanlah proses yang pasif. Namun melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Selain itu, pemimpin harus memberikan ketauladanan berdasarkan perilaku-perilaku maupun keputusan-keputusan yang diambil secara bijaksana. Suatu iklim organisasi dikatakan etis jika mencerminkan tiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggar hak orang lain (rights).

Kata Kunci: Kepemimpinan, Prilaku, Budaya etis.


Pendahuluan
Pemimpin suatu organisasi mempunyai peran sentral dan sangat penting dalam menentukan menjadi seperti apa organisasi tersebut. Tidak peduli apakah itu organisasi bisnis yang berorientasi profit maupun organisasi nirlaba. Peran pemimpin ini dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang dipimpin (pengikut) dan struktur dari organisasi itu sendiri, disamping tentu saja oleh faktor-faktor lain yang menjadi nilai dalam masyarakat di sekitar organisasi tersebut.
Budaya yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai, kebiasaan, ritual, mitos maupun praktek-praktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins, 2003) semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya tersebut memiliki peran sebagai pemberi identitas dan "normative glue". Pemimpin dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya.
Sebagai contoh, dalam masyarakat pedesaan yang budaya paternalistiknya masih kuat, nilai-nilai dan aturan-aturan kemasyarakatannya akan sangat ditentukan atau dipengaruhi oleh tokoh-tokoh masyarakatnya, seperti Lurah/Kepala Desa, Kyai/tokoh agama dan guru/pendidik yang tinggal dan hidup bersama mereka. Pola hidup dan pola pikir masyarakat desa relatif homogen, sehingga lebih mudah dikendalikan. Penghargaan mereka kepada para pemimpin sangat besar, sehingga mereka sangat percaya kepada para pemimpin dan mau menuruti apapun yang diinginkan oleh para pemimpin.
Akan sangat berbeda dengan masyarakat kota, dimana nilai-nilai yang dianut oleh warganya sudah cukup heterogen. Pola hidup dan tingkat kesejahteraannya juga cukup beragam. Pola pikir masyarakat kota juga sangat beragam, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pergaulan mereka. Tingkat pendidikan dan pola pergaulan sehari-hari akan sangat mempengaruhi nilai-nilai yang dipercaya dan dianut oleh masyarakat kota. Berbeda dengan masyarakat desa, masyarakat kota yang lebih berpengetahuan akan lebih rasional, lebih kritis, lebih berani menyatakan perbedaan nilai, keinginan maupun prinsip dalam berelasi/bergaul dengan sesamanya. Dalam kondisi yang demikian memang akan ada fenomena masyarakat tidak percaya atau mengikuti begitu saja apa kata pemimpinnya, sepanjang ada kebebasan menyatakan pendapat atau mengekspresikan diri sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Perbedaan budaya, pola pikir, nilai-nilai yang diakui dan diyakini, serta berbagai faktor sosial ekonomi lain menyebabkan pengaruh pemimpin terhadap pengikutnya menjadi berbeda. Hal itu nampak dalam contoh pembandingan antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Struktur atau pola relasi dalam masyarakat atau komunitas juga menyebabkan pengaruh dan mekanisme kepemimpinan menjadi berbeda. Masyarakat komunis atau yang hidup dengan sistem relasi kediktatoran terpaksa mengikuti apa kata pemimpinnya, sehingga sepintas nampak pola kepemimpinannya akan sangat efektif. Hal ini nampak jelas pada jaman Hitler memimpin Jerman.
Ilustrasi diatas hanya dimaksudkan untuk memberi gambaran umum betapa pemimpin dan kepemimpinan sangat dipengaruhi dengan kondisi ideologi, sosial, budaya dan ekonomi dari masyarakatnya/anggota komunitasnya. Berdasarkan uraian di atas, pokok masalah yang akan dikaji dalam artikel ini adalah "bagaimanakah peran pemimpin dalam pembentukan perilaku dan budaya etis pada organisasi".

Pembahasan

A.Pemimpin dan Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan merupakan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang yang sangat luas dan memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pemasaran, pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap masyarakat timbul dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin adalah orang kebanyakan. Tanpa adanya seorang pemimpin maka tujuan organisasi yang dibuat tidak akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada.
Jika melihat perkembangan berbagai teori mengenai kepemimpinan yang ada, maka timbul suatu kesadaran bahwa perkembangan teori kepemimpinan telah berkembang sedemikian pesat sejalan dengan perkembangan kehidupan yang ada. Kepemimpinan tidak lagi dipandang sebagai penunjuk jalan namun sebagai partner yang bersama-sama dengan anggota lain berusaha mencapai tujuan.
Bermula dari pengertian kepemimpinan itu sendiri, sejak awal mula telah begitu banyak ahli mencoba mendefinisikannya dengan berbagai aspek dan pendekatannya. Istilah ini pun telah sangat dikenal dalam kehidupan sehari-hari karena menyangkut bidang yang sangat luas. Menurut Stogdill (1974) kepemimpinan dianggapnya sebagai proses atau tindakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Fiedler (1967) menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap sekelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan.
Dari dua definisi yang telah diajukan tersebut secara jelas menunjukkan bagaimana kepemimpinan tersebut diartikan, yaitu berkaitan usaha mempengaruhi dan menggunakan wewenang. Pengertian tersebut memberi suatu pemikiran bahwa pemimpin dipandang sebagai orang yang memiliki kecakapan lebih dalam usaha untuk memotivasi orang melakukan sesuatu seperti yang diharapkan pemimpin.
Salah satu teori mengenai kepemimpinan paling awal yaitu teori sifat memandang bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, yaitu : memiliki inteligensi yang tinggi, berkharisma, mampu membuat keputusan, antusias, memiliki kekuatan, berani, memiliki integritas, dan percaya diri. Banyak contoh mengenai pemimpin dengan karakteristik demikian, antara lain : Mahatma Gandhi, Martin Luther, Jr. Joan of Arc, dan sebagainya. Namun pada kenyataannya, tidak semua pemimpin memiliki kesemua karakeristik, ada diantara mereka yang hanya memiliki beberapa dari karakteristik tersebut namun telah mampu menggerakkan orang kebanyakan. Teori ini mendasarkan pemikiran bahwa pemimpin itu dilahirkan.
Pandangan teori yang lebih baru memperkenalkan kepemimpinan situasional, yaitu keberhasilan kepemimpinan melibatkan sesuatu yang lebih kompleks dari hanya sekedar sifat-sifat tertentu atau perilaku-perilaku yang diinginkan. Hubungan antara gaya kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan bergantung pada sejumlah kondisi, satu gaya kepemimpinan hanya tepat diterapkan pada satu kondisi atau situasi tertentu (Robbins, 2003). Jadi dengan demikian seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kepekaan membaca situasi sehingga ia tahu mana gaya yang paling tepat yang harus dia munculkan dalam situasi tersebut.
Pendapat Philip Crosby (1996) yang menyatakan bahwa berdasar pada pengalamannya pribadi selama bertahun-tahun kualitas kepemimpinan tidak hanya sekedar kemampuan untuk merespon secara efektif terhadap situasi tertentu, tetapi seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang diarahkan oleh kemutlakan tertentu (certain absolute). Dia melihat praktek kepemimpinan sebagai suatu penjabaran dari keyakinan pemimpin yaitu suatu inti kompetensi personal yang tinggi dari seorang pemimpin. Kualitas kepemimpinan tumbuh dan tercipta dari hubungan dengan orang-orang lain dalam organisasi dan bahwa pemimpin harus meluangkan waktu untuk menjaga hubungan tersebut. Penekanan pemimpin yang sesungguhnya adalah seseorang yang mengetahui bahwa keberhasilannya tidak tergantung pada "title-nya", tetapi pada pilihan yang mereka buat dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh untuk membuat keputusan secara bijaksana.
Berdasarkan uraian di atas, kepemimpinan terkandung pengertian bahwa memilih orang secara berhati-hati dan mengarahkan mereka untuk mencapai tujuan yang ada dengan jelas dalam pikiran, mendorong orang untuk berusaha mencapai tujuan, mengarahkan untuk peka terhadap segala yang terjadi serta mengambil sikap tertentu untuk mengantisipasinya, yang terakhir adalah bahwa pemimpin harus memiliki agenda yang jelas mengenai apa dan bagaimana kehendak mereka.
Kepemimpinan yang absolut menurut Crosby adalah kepemimpinan yang memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
1.Clear agenda, seorang pemimpin idealnya memiliki dua agenda: satu agenda bagi dirinya sendiri, dan yang kedua adalah agenda bagi organisasinya. Tujuan dari agenda organisasi adalah untuk menentukan kerangka kerja dari semua pekerjaan yang dilakukan; sedangkan personal agenda berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pimpinan pribadi sesuai dengan apa yang memang sungguh-sungguh ia inginkan bagi dirinya sendiri, dan hanya dia pribadi yang mengetahui. Dalam hal ini agenda tersebut harus dapat diungkapkan dalam kalimat yang dapat dengan jelas diterima dan tujuan yang ditentukan dapat diukur.
2.Personal Philosophy, seorang pemimpin hendaknya memiliki pilosofi pelaksanaan yang bersifat pragmatis dan dapat dipahami. Kerangka kerja dari pelaksanaan philosophi tersebut diciptakan dari belajar, inovasi dan keputusan.
3.Enduring Relationship, kehidupan organisasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah transaksi dan hubungan. Kunci untuk menjaga suatu hubungan adalah adanya penghargaan terhadap orang lain, memandang orang lain dengan cara yang positif dan keinginan untuk bekerja sama. Orang lain dalam hal ini tidak hanya terbatas pada anggota-anggota saja tetapi termasuk di dalamnya adalah customers, coworkers, maupun suppliers.
4.Worldly, mendunia (being worldly) berkaitan dengan budaya lain, tekhnologi, dan pengumpulan informasi. Hal ini berarti pula bagaimana pemimpin mampu memanfaatkan tekhnologi-tekhnologi baru, memahami pasar global, penghargaan terhadap orang lain.
Pendapat-pendapat di atas nampaknya telah menggambarkan peran apa yang sebaiknya dibawakan oleh pemimpin. Pada dasarnya kepemimpinan menuntut kapabilitas yang tinggi. Pemimpin dalam hal ini menentukan dimana bisnis hendak berlangsung, sasran-sasaran yang hendak dicapai baik intenal maupun eksternal, aset dan skill yang diperlukan, kesempatan dan resiko-resiko yang dihadapi. Pemimpin dalam hal ini adalah ahli strategi yang memastikan bahwa sasaran organisasi akan dapat tercapai. Dalam hal ini perubahan sosial, inovasi tekhnologi dan meningkatnya kompetisi merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pemimpin.
Pada akhirnya hanya pemimpin-pemimpin yang memiliki komitmen yang jelaslah yang mampu menyelamatkan organisasi dari situasi yang kompleks. Pendapat-pendapat memberi sumbangan yang jelas mengenai bagaimana pemimpin seharusnya bertindak dalam setiap situasi yang dihadapi. Di atas kesemuanya itu, sebagaimana Schein berpendapat bahwa setiap pemimpin hendaknya tidak melupakan akar budaya yang mereka miliki. Dengan menggali budaya yang dimiliki pemimpin dapat mengetahui kekuatan dan kelemahannya, sehingga mereka mengetahui sikap yang harus diambil, terutama jika situasi dan kondisi lingkungan sudah sedemikian krusial.
Teori kepemimpinan lain berfokus pada situasi atau konteks dari kepemimpinan. Mereka menekankan pada tugas yang memang perlu dilakukan dan lingkungan luar, termasuk sejarah, ekonomi, faktor-faktor budaya, dan karakteristik dari pengikutnya. Teori situasional tidak secara eksplisit mengatakan sesuatu tentang nilai-nilai, tetapi menduga bahwa dalam beberapa situasi seseorang dengan nilai-nilai moral khusus yang kuat harus muncul sebagai pemimpin. Contoh yang paling jelas adalah Nelson Mandela, dia adalah the right man at the right time.
Teori yang lain menggabungkan teori sifat-sifat atau ”The Great Man” dengan model situasional dan fokus pada interaksi antara pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin berperan membimbing organisasi di sepanjang jalurnya sehingga menyebabkan semua orang menjadi terlibat atau ikut serta. Di sini nilai-nilai memainkan peranan penting. Pertanyaan yang penting dalam studi tentang teori ini adalah: Apakah pemimpin lebih efektif ketika mereka bisa menjalin hubungan baik dengan pengikutnya, atau Apakah pemimpin lebih efektif ketika mereka menggunakan teknik tertentu untuk menyusun dan memerintahkan tugas-tugas. Apakah kepemimpinan itu soal hubungan moral atau teknik. Jawabannya adalah harus keduanya. Keduanya menekankan hubungan pemimpin dan pengikutnya dan pentingnya nilai-nilai dalam proses kepemimpinan. Hal penting dari pernyataan tersebut adalah pemimpin tidak hanya mempunyai nilai, mereka membantu pengikutnya membangun nilai-nilai mereka sendiri, yang akan sangat mendukung atau sesuai dengan nilai-nilai organisasi dan selanjutnya diharapkan menjadi prilaku dan budaya etis dalam organisasi.

B. Perilaku dan Budaya Etis dalam Organisasi
Apa yang menyusun perilaku etis yang aik belum pernah terdefinisikan dengan jelas. Namun, secara umum perilaku etis merupakan suatu reaksi dari sikap individu yang didalamnya harus menentukan tindakan yang benar dan yang salah. Penilaian mengenai yang benar dan yang salah didasarkan pada seperangkat keyakinan individu ataupun kelompok dalam suatu organisasi.
Tindakan manusia (human action) merupakan subyek utama pertimbangan etis. Perilaku atau aktivitas yang dilakukan oleh individu secara sadar dan sengaja memiliki tanggung jawab atas aktivitas yang dipilih. Perilaku dapat menimbulkan isu etika ketika perilaku tersebut bermanfaat atau merugikan pihak lain. Contoh: Pakai dasi warna merah? Mencontek pekerjaan orang lain? Berselingkuh? Dan sebagainya, merupakan suatu tindakan yang memerlukan pertimbangan etis dengan didasakan pada keyakinan tentang manfaat dan kerugian yang akan diperolehnya. Dalam suatu organisasi, seorang pemimpin harus menciptakan iklim yang diwarnai dengan perilaku-perilaku etis tersebut dan dikembangkan menjadi suatu budaya dalam organisasinya. Perilaku etis dalam suatu organisasi akan tercermin pada tiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggar hak orang lain (rights).
Masalah budaya organisasi (Organization Culture) akhir-akhir ini telah menjadi suatu tinjauan yang sangat menarik terlebih dalam kondisi kerja yang tidak menentu. Budaya organisasi kembali digali guna menggali kekuatan-kekuatan diri yang telah dimiliki namun cenderung diabaikan. Pada saat lingkungan eksternal dianggap kurang mampu mengatasi masalah yang timbul, maka orang kembali menengok kekuatan yang ada meskipun hal itu diyakini pula tidak dapat menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Namun dengan menggali budaya yang ada, maka diharapkan dapat menggali kekuatan yang dimiliki.
Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada di dalamnya dan mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigu (Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.
Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekatnya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Budaya oleh Robbins (2003) diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos dan praktek-praktek yang terus berlanjut; mengarahkan orang untuk berperilaku dan dalam upaya memecahkan masalah. Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan bahwa budaya pada hakekatnya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia yang mencakup pikiran, ucapan, tindakan, artifak-artifak dan bergantung pada kapasitas manusia untuk belajar dan mentarnsmisikannya bagi keberhasilan generasi yang ada. Dari pengertian ini dapat ditangkap bahwa budaya organisasi tidak bisa begitu saja ditangkap dan dilihat oleh orang luar, namun dapat dipahami dan dirasakan melalui perilaku-perilaku anggotanya serta nilai-nilai yang mereka anut.
Deal dan Kennedy menambahkan bahwa nilai pada hakekatnya merupakan inti dari suatu budaya. Nilai memberikan suatu sence of common direction bagi semua anggotanya dan petunjuk bagi perilaku sehari-harinya. Semakin kuat nilai-nilai itu diinternalisasi maka semakin kuat pula budaya etis tersebut mempengaruhi kehidupan mereka. Terkadang budaya itu sedemikian kuat dan kohesif, sehingga setiap orang tahu tujuan organisasi dan mereka mau bekerja untuk mencapainya.
Budaya pada hakekatnya merupakan pondasi bagi suatu organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, ia tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Ada sejumlah tahapan bila suatu perusahaan ingin membentuk budaya yang etis. Pertama-tama perusahaan harus melihat ke depan mengenai apa visinya, kemudian sistem nilai apa yang dimiliki, selanjutnya bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam organisasi itu sendiri, dan akhirnya melihat bagaimana sumber dayanya. Dalam hal ini Susanto (1997) memiliki pendapat bahwa budaya organisasi dapat dihidupkan pertama-tama melalui seleksi, yaitu memperoleh anggota yang setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang ada; manajemen atas, dalam hal ini manajemen atas mempunyai peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui tindakan-tindakannya; sosialisasi, budaya yang ada hendaknya terus-menerus disosialisasi baik anggota baru maupun anggota lama, prosesnya dapat berupa orientasi dan pelatihan melalui cerita-cerita tentang pendiri, ritual-rital yang ada, simbol-simbol dan sebagainya.
Lebih lanjut, Schein (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) menambahkan bahwa proses terjadinya budaya perusahaan (organisasi) melalui tiga cara, yaitu:
1)Para wirausahawan mengambil dan mempertahankan bawahan-bawahan (anggota-anggota) yang berpikir dan merasakan cara yang mereka lakukan.
2)Mengindoktrinasi dan mensosialisasikan cara berpikir dan cara merasakan mereka.
3)Perilaku mereka sendiri adalah model peran yang mendorong anggota untuk mengidentifikasi dan menginternalisasi keyakinan, nilai-nilai dan asumsi-asumsi mereka.
Dengan demikian dapat dipahami bagaimana pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model bagi terciptanya nilai-nilai yang ada. Sehingga budaya yang dimiliki oleh suatu organisasi memiliki peran yang besar dalam pencapaian tujuan organisasi tersebut.

C. Peran Pemimpin dalam Pembentukan Perilaku dan Budaya
Masyarakat Indonesia yang bersifat paternalistik memberikan dampak bahwa peran pemimpin adalah sebagai bapak yang mengayomi dan membina anak buahnya. Figur inilah yang pada akhirnya menjadi panutan bagi seluruh anggotanya. Istilah ing ngarso sung tulodho nampaknya tepat guna mengambarkan bagaimana pola hubungan antara pimpinan dengan anak buah. Efek yang timbul adalah jika panutan ini hilang atau kabur fungsinya, maka yang timbul adalah kegelisahan karena orang menjadi kehilangan pegangannya.
Sejak awal ditegaskan bagaimana peran pemimpin dalam pembentukan perilaku dan budaya etis yang kondusif dalam organisasinya. Konsep metaphor budaya yang diperkenalkan oleh Morgan (1986) memberi sumbangan pemikiran bagaimana melihat organisasi dari pandangan pembentukan budaya (the view of enactment). Pandangan ini menekankan bagaimana seseorang membentuk dan menyusun realitas sosial yang ada dan menekankan peran aktif seseorang dalam menciptakan dunia yang diinginkan. Pada akhirnya metaphor budaya ini mendasari suatu konsep bagaimana budaya membentuk realitas yang terus berkelanjutan dalam suatu organisasi dan memberi dasar bagi terbentuknya perilaku dan budaya etis anggota-anggotanya. Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena harus mensosialisasikan nilai-nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama.
Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Seorang pemimpin untuk memiliki agenda yang jelas yang menyangkut diri dan organisasi sehingga ia tahu kemana arah yang dituju. Agenda tersebut seyogyanya menyangkut tujuan jangka panjang dan strategi jangka pendek yang hendak dicapai dengan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika situasi menjadi rancu dan ambigu. Justru dalam kondisi inilah akan nampak bagaimana peran pemimpin tersebut. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas, wawasan yang luas, pandangan yang jernih terhadap situasi yang dihadapi, dengan demikian ia dapat membuat suatu keputusan yang didasari oleh keinginan untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Pemimpin yang dapat menjadi pemimpin adalah seseorang yang memiliki personal philosophy yang teguh. Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh situasi yang ada di sekitarnya. Meskipun lingkungannya berubah demikian cepat, namun ia tetap punya komitmen dan konsisten tanpa kehilangan arah yang hendak dituju. Personal philisophy ini tidak begitu saja dimiliki oleh seorang pemimpin, namun tumbuh melalui proses belajar, memiliki kemauan melakukan inovasi, dan paling akhir adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang didasari oleh kedua hal di atas. Hal-hal di atas hanya dapat dilaksanakan jika ia memiliki kesabaran dan konsisten terhadap prinsip-prinsip yang dimiliki serta memiliki motivasi intrinsik.
Pada dasarnya seorang pemimpin menurut Myers (dalam Brooks, 2000) adalah seseorang yang berfungsi: membantu mendefiniskan dan mencapai tujuan kelompok, dalam hal ini pemimpin membuat kebijakan dan merumuskan tujuan; memantapkan kelompok terutama ketika timbul ketegangan, dalam hal ini andil pemimpin sangat besar dalam upaya mengurangi adanya perbedaan dan mengajak kelompok bekerja sama; memberikan simbol identifikasi, dalam hal ini pemimpin bertindak sebagi simbol sehingga kelompok dapat dimantapkan dalam suatu kesatuan. Berdasar pada hal itu, maka cukup jelas bagaimana sebenarnya peran pemimpin dalam penciptaan stabilitas sistem sosial.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat vital antara budaya dan kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin justru akan dilihat dalam pengaruh mereka secara langsung terhadap budaya organisasi. Pada dasarnya pemimpin berperan dalam pembentukan budaya, selanjutnya budaya membantu membentuk anggota-anggotanya. Pembentukan budaya yang etis tersebut hanya akan dapat dilihat lebih dekat melalui perilaku-perilaku etis para anggota serta semangat yang mendorongnya.

D. Faktor-faktor Penentu Keberhasilan
Setiap organisasi bertanggungjawab untuk berusaha mengembangkan suatu perilaku etis dalam organisasi yang tercermin pada keadilan (fairness), bermanfaat (profitability) dan tidak melanggar hak orang lain (rights). Nilai-nilai budaya tersebut harus dimiliki pada setiap individu dan menjadi dasar etika dalam pengelolaan suatu organisasi atau suatu entitas. Keberhasilan pembentukan perilaku dan budaya etis dalam organisasi sangat erat hubungan dengan hal-hal atau faktor-faktor penentu keberhasilan yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Faktor-faktor tersebut meliputi: komitmen dari top manajemen, lingkungan organisasi yang kondusif, perekrutan dan promosi karyawan, pelatihan berkelanjutan, dan saluran komunikasi yang efektif.
1. Komitmen dari Top Manajemen
Pemimpin harus memberikan tauladan dan kemauan yang kuat untuk membentuk perilaku dan budaya etis yang kuat dalam organisasi yang dipimpinnya. Peranan moral/kepribadian yang baik dari seorang pimpinan dan komitmennya yang kuat sangat mendorong tegaknya suatu etika prilaku dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak dan suri tauladan bagi seluruh anggotanya. Pimpinan tidak bisa menginginkan suatu etika dan perilaku yang tinggi dari suatu organisasi sementara pimpinan itu sendiri tidak sungguh-sungguh untuk mewujudkannya.
Dalam suatu unit organisasi terutama unit organisasi yang besar, dari pimpinan sangat dibutuhkan dua hal yaitu komitmen moral dan keterbukaan dalam komunikasi. Kedua hal tersebut dapat mewujudkan harapan munculnya perilaku dan budaya etis yang kuat. Pimpinan harus memperlihatkan kepada anggotanya tentang adanya kesesuian antara kata dengan perbuatan dan tidak memberikan toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar kaedah-kaedah etika organisasi yaitu dengan diberikan sanksi hukuman yang jelas. Demikian pula sebaliknya terhadap anggota yang berprestasi dan bermoral baik diberikan penghargaan yang proporsional. Adanya pelaksanaan hukuman dan penghargaan yang konsisten akan memberikan nilai tambah bagi terciptanya suatu perilaku dan budaya etis organisasi yang kuat.
2. Lingkungan Organisasi yang Kondusif
Dukungan dari lingkungan kerja sangat diperlukan dalam pembentukan perilaku dan budaya etis oganisasi yang kuat. Rendahnya kepedulian dan rendahnya moral akan menyuburkan tindakan tidak etis yang pada akhirnya akan merusak bahkan dapat menghancurkan organisasi. Faktor-faktor ketidak pedulian tersebut antara lain disebabkan oleh :
a)Top manajemen kurang peduli tentang hukuman dan penghargaan.
b)Umpan balik negatif oleh pegawai atas penempatan kerja yang tidak adil.
c)Pimpinan lebih bersifat otoriter dan kurang menghargai partisipasi karyawan
d)Anggaran yang tidak rasional dan adanya pemaksaan pencapaian terget yang tidak rasional tersebut.
e)Kurangnya pelatihan pegawai dan kurangnya kesempatan promosi.
f)Tidak jelasnya komunikasi dan sistem pertanggungjawaban organisasi
Bagian Personalia suatu organisasi hendaknya membantu dalam menciptakan instrumen yang mengarahkan kepada adanya budaya organisasi dan lingkungan kerja yang mendukung. Berikut ini hal-hal yang dapat membantu terwujudnya lingkungan kerja yang positif, yaitu :
a)Memperkenalkan reward system yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dan hasil.
b)Memiliki kesempatan yang sama bagi seluruh anggota/karyawan
c)Adanya tim orientik, kerjasama dalam mengambil suatu keputusan
d)Program kompensasi administarasi yang profesional
e)Program pelatihan yang profesional dan proritas dalam pembinaan karir.
Pemberdayaan karyawan dalam mengembangkan lingkungan kerja yang positif sangat membantu dalam pembentukan perilaku dan budaya etis organisasi. Mereka dapat memberikan pandangan-pandangan dalam pengembangan dan memperbarui etika dan aturan perilaku (code of conduc) yang berlaku dalam suatu organisasi, Karyawan juga memperlihatkan kontribusinya yang signifikan dalam berprilaku yang sesuai dengan code of conduct tersebut.
Pembentukan perilaku dan budaya etis organisasi disusun dari prinsip-prinsip yang dapat diterima dan seharusnya bukan hanya aturan yang keras atau kaku yang tidak dapat untuk menjawab atau diterapkan pada semua unit dalam organisasi. Namun perlu dilakukan observasi mengenai prinsip-prinsip yang dipakai agar dapat dipahami dan dapat mencerminkan sifat-sifat profesionalitas, kejujuran, integritas, dan loyalitas yang tinggi dalam membentuk organisasi yang bermoral. Disamping itu, organisasi yang memiliki otoritas harus berniat membantu dengan sikap mental yang kokoh dan konsekuen serta memiliki kemampuan untuk menghilangkan timbulnya perilaku tidak etis, melalui proses penegakan kedisiplinan dan dengan aturan perlaku yang ada, serta bebas dari pengaruh pertentangan kepentingan (conflict of interest).
3. Perekrutan dan Promosi Karyawan
Setiap anggota/karyawan memiliki seperangkat nilai-nilai kejujuran, integritas dan kode etik personal. Oleh karena itu, suatu organisasi atau entitas haus dapat memastikan berbagai kebijakan-kebijakan yang efektif yang dapat meminimalkan kemungkinan adanya merekrut atau mempromosikan pegawai yang memiliki tingkat kejujuran yang rendah , terutama untuk posisi yang memerlukan tingkat kepercayaaan.
4. Pelatihan yang Berkelanjutan
Karyawan baru sebaiknya diberi pelatihan tentang perilaku dan budaya etis serta nilai-nilai organisasi pada saat perekrutan. Komitmen untuk pendidikan yang berkelanjutan dan kesadaran bagi anggota atas permasalahan yang berkaitan dengan etika harus disusun untuk kepentingan organisasi dan relevan dengan keinginan anggota/karyawan organisasi. Sebagai tambahan dalam memberikan pelatihan pada saat perekrutan, para anggota sebaiknya memperoleh pelatihan secara periodik. Dengan demikian, pelatihan ini sebaiknya secara ekplisit dapat mengadopsi harapan-harapan dari seluruh anggota.
5. Saluran Komunikasi Yang Efektif
Manajemen membutuhkan informasi mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban pekerjaan. Masing-masing pegawai harus dapat menginformasikan tentang pelaksanaan kode etik tersebut mulai dari pemegang posisi tertinggi sampai yang terendah. Permintaan konfirmasi harus dilakukan bukan hanya formalitas saja tetapi laporan tersebut betul-betul dapat digunakan sebagai pencegahan dan pendekteksian bila terjadinya perbuatan tidak etis. Pegawai harus diberi kesempatan untuk melaporkan perbuatan tidak baik yang dilakukan pegawai lain, manajer atau kliennya. Sistem ini harus menjamin dan menjaga kerahasiaan pegawai.

Kesimpulan

Tindakan manusia (human action) merupakan subyek utama dari pertimbangan etis. Perilaku etis merupakan suatu reaksi dari sikap individu yang didalamnya harus menentukan tindakan yang benar dan yang salah. Penilaian mengenai benar dan salah didasarkan pada seperangkat keyakinan individu ataupun kelompok dalam suatu organisasi. Dalam suatu organisasi, seorang pemimpin harus menciptakan iklim yang diwarnai dengan perilaku-perilaku etis yang tercermin pada tiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggar hak orang lain (rights).
Pemimpin memiliki peran yang sangat besar dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Pembentukan perilaku dan budaya yang etis bukanlah proses yang pasif. Namun ia melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Selain itu, pemimpin harus memberikan tauladan berdasarkan perilaku-perilaku maupun keputusan-keputusan yang diambil secara bijaksana. Peran moral/kepribadian tersebut merupakan pondasi bagi tegaknya etika prilaku dan budaya etis dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak serta suri tauladan bagi seluruh anggotanya.

Daftar Pustaka

Brooks, L.J. 2000, Business and Professional Ethics for Accountants, South Western College Publishing.
Crosby, P. 1996. The Absolutes of Leadership. San Francisco. Jossey-Bass Publisher.
Fiedler, F.E. 1967. A Theory f Leadership Effectiveness. New York. McGraw-Hill.
Kennedy, D.L. 1996. Understanding Personal Power. Diambil dari Dynamics of Leadership. Bombay. Jaico Publ. House.
Robbins, Stephen.P. 2003. Organizational Behavior. Tenth Edition. New Jersey. By Person Education. Inc.
Schultz, D.P. 1982. Psychology in Industry Today. New York. MacMillan Publ. Co.
Suseno, F.M. 1991. Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta. PT Gramedia.
Stogdill, R.M. 1974. Handbook of Leadership. A Survey of Theory and Research. New York. The Free Press .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar