PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Anggaran disusun untuk membantu manajemen mengkomunikasikan tujuan organisasi semua manajer pada unit organisasi di bawahnya, untuk mengkoordinasi kegiatan, dan untuk mengevaluasi kinerja manager (Supriyono, 1999: 349). Agar tujuan tersebut dapat dicapai secara efektif maka perlu memperhatikan Budgetary Partisipation (partisipasi dalam penyusunan anggaran) dan Budget Goal Clarity ( kejelasan sasaran anggaran).
Partisipasi Penyusunan Anggaran adalah suatu proses yang didalamnya terdapat individu yang terlibat dan mempunyai pengaruh terhadap penyusutan target anggaran yang akan di evaluasi dan perlunya penghargaan atas pencapaian target anggaran tersebut (Groweel, 1982 dalam Puput, 2007). Partisipasi memungkinkan terjadinya komunikasi yang semakin baik, interaksi satu sama lain serta bekerjasama dalam tim untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian, penyusunan anggaran secara partisipatif diharapkan kinerja para manajer akan meningkat. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa ketika suatu tujuan yang dirancang secara partisipatif disetujui, maka karyawan akan menginternalisasikan tujuan atau standar yang ditetapkan, dan karyawan juga memiliki rasa tanggungjawab pribadi untuk mencapainya karena mereka ikut serta terlibat dalam proses penyusunannya yang akan berpengaruh pula pada tingkat kinerja.
Kejelasan sasaran anggaran menggambarkan luasnya sasaran anggaran yang dinyatakan secara jelas dan spesifik serta dimengerti oleh pihak yang bertanggungjawab terhadap pencapaiannya (Kennis, 1979 dalam Trisnawati). Sasaran anggaran yang tidak jelas dapat menyebabkan kebingungan, tekanan dan ketidakpuasan dari karyawan yang akan berdampak buruk terhadap kinerja manajerial.
Kinerja manajerial merupakan salah satu faktor yang dapat dipakai untuk meningkatkan efektivitas organisasi (T.HaniHandoko, 1996:34). Kinerja akan dikatakan efektif apabila pihak- pihak bawahan mendapat kesempatan terlibat atau berpartisipasi dalam proses penyusunan anggaran. Ketika suatu anggaran dirancang secara partisipatif maka karyawan akan memiliki rasa tanggung jawab pribadi untuk mencapai standar yang ditetapkan karena mereka ikut serta terlibat dalam proses penyusunannya yang akan berpengaruh pada tingkat kinerja.
Penelitian yang berkaitan dengan partisipasi dalam penyusunan anggaran pertama kali dilakukan oleh Arygis (1952). Penelitian yang dilakukan Arygis (1952) menemukan bahwa sistem anggaran yang ada pada waktu itu dapat menimbulkan adanya ketidakpuasan karyawan. Untuk itu diusulkan diterapakan partisipasi dalam menyusun anggaran.
Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (2000) ditujukan untuk menguji pengaruh Budgetary Partisipation (partisipasi penyusunan anggaran, kejelasan sasaran anggaran, kesulitan sasaran anggaran, umpan balik anggaran dan evaluasi anggaran) terhadap kinerja manajerial. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa hanya variabel partisipasi yang berpengaruh pada kinerja manajerial. Temuan penelitian ini didukung oleh Niken Safitri (2006) dalam penelitiannya yang menganalisis hubungan partisipasi dalam penyusunan anggaran berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan kinerja karyawan pada PT. Merapi Utama Pharma Cabang Yogyakarta. Berdasarkan penelitiannya itu disimpulkan bahwa partisipasi dalam penyusunan anggaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. Merapi Utama Pharma Cabang Yogyakarta. Namun demikian, penelitian tersebut memiliki keterbatasan yaitu penelitian ini dihasilkan dari penggunaan instrumen yang mendasarkan pada persepsi jawaban responden. Hal ini akan menimbulkan masalah jika persepsi responden berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya dan pengukuran variable kinerja hanya berdasarkan pada penilaian diri sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis terdorong untuk mengangkat permasalahan ini dalam bentuk penelitian dalam judul ”Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Kejelasan Sasaran Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial”. Penelitian ini dilaksanakan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Metro. Pemilihan Dinas dan Kantor dilakukan dengan alasan yaitu instansi tersebut merupakan SKPD yang berarti menyusun, menggunakan dan melaporkan realisasi anggaran dan sebagai pelaksana anggaran dari pemerintah daerah (Abdullah, 2004). SKPD Kota Metro memerlukan anggaran sebagai salah satu komponen penting untuk mencapai keseluruhan starategi kedalam rencana dan tujuan jangka pendek maupun jangka panjang, salah satu rencana atau program prioritas kota metro adalah peningkatan produktivitas dan nilai tambah perekonomian daerah dalam menjalankan program tersebut diperlukan anggaran dimana anggaran tersebut harus memperhatikan partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang permasalahan yang ada, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial pada SKPD Kota Metro.
2. Menganalisis pengaruh kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja manajerial pada SKPD Kota Metro.
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, yaitu:
1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam mengadakan penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran dalam meningkatkan kinerja manajerial.
2. Menambah referensi keilmuan baik secara teori maupun praktik khususnya mengenai pengaruh partisipasi anggaran dan kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja manajerial.
Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian
Ketika suatu sasaran anggaran atau tujuan dirancang dan secara partisipasi disetujui, maka karyawan akan menginternalisasikan sasaran anggaran atau tujuan yang telah ditetapkan dan memiliki rasa tanggung jawab pribadi untuk mencapainya. Semakin tinggi tingkat keterlibatan manajer dalam proses penyusunan anggaran, akan semakin meningkatkan kinerja manajerial (Indriantoro, 2000). Untuk dapat memahami permasalahan hubungan masing- masing variabel yang diteliti, kerangka ini penulis sajikan dalam bentuk gambar sebagai berikut :
Gambar 1
Kerangka pemikiran.
Keterangan :
X1 : Partisipasi Penyusunan Anggaran
X2 : Kejelasan Sasaran Anggaran
Y : Kinerja Manajerial
Berdasarkan gambar di atas, partisipasi dalam penyusunan anggaran lebih mengacu pada sejauh mana manajer berpartisipasi dalam penyusunan anggaran dan mempengaruhi untuk meningkatkan kinerja manajerial. Apabila para manajer atau karyawan diberikan kewenangan untuk berpartisipasi dalam penyusunan anggaran maka akan mempengaruhi tingkat kinerja manajerial dan sebaliknya. Sehingga pengaruh partisipasi penyusunan anggaran dan kinerja manajerial dapat diuji dengan hipotesis sebagai berikut :
H1 : Ada pengaruh positif antara partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial
Kejelasan sasaran anggaran menggambarkan seberapa luasnya sasaran anggaran yang dinyatakan secara jelas dan spesifik dan dimengerti oleh pihak yang bertanggung jawab terhadap pencapaiannya (Kennis: 1979 dalam Trisnawati). Kejelasan sasaran anggaran merupakan hal yang paling penting dalam pencapaian suatu tujuan organisasi karena akan menentukan arah tujuan suatu organisasi. Sehingga diperlukan peran manajer dalam penyusunan sasaran anggaran dengan harapan kinerja manajer dan karyawan akan meningkat, jadi peran manajer disini untuk meningkatkan kinerja bawahannya dengan melibatkan individu dalam penyusunan sasaran anggaran. Ketika suatu sasaran anggaran atau tujuan dirancang dan secara partisipasi disetujui, maka karyawan akan menginternalisasikan sasaran anggaran atau tujuan yang telah ditetapkan dan memiliki rasa tanggung jawab pribadi untuk mencapainya karena mereka ikut terlibat dalam penyusunan anggaran (Kennis, 1979).
Sasaran anggaran yang tidak jelas dapat menyebabkan kebingungan, tekanan dan ketidakpuasan dari karyawan. Sehingga pengaruh kejelasan sasaran anggaran dan kinerja manajerial dapat diuji dengan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Ada pengaruh positif antara kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja manajerial.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian adalah perencanaan penelitian yang bertujuan untuk melaksanankan penelitian sehingga dapat diperoleh suatu logika, baik dalam pengujian hipotesis maupun dalam membuat kesimpulan. Jadi, desain dalam perencanaan penelitian ini harus dapat menerjemahkan model – model ilmiah ke dalam operasional secara praktis (Iqbal Hasan, 2002 : 31). Oleh karena itu jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kuantitatif. Desain kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti populasi atau sample tertentu (Sugiyono, 2008 : 8). Sumber data penelitian ini adalah data primer yang berasal dari jawaban responden atas beberapa pertanyaan yang diajukan peneliti. Pengambilan data diantar langsung kepada responden yang wilayahnya dapat dijangkau oleh peneliti, sedangkan instrumen yang digunakan adalah kuesioner.
Populasi Dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008 : 80). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah Pegawai struktural eselon II dan III di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Metro.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2008 : 81). Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah para pegawai struktural eselon II dan III yang ada di SKPD Kota Metro.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel anggota populasi dilakukan dengan pertimbangan tertentu yang didasarkan pada kepentingan tujuan penelitian (Sugiyono, 2008 : 82).
Definisi Operasional Variabel
Dalam penelitian ini terdapat variabel dependen dan independen. Sebagai variabel dependen dalam penelitian ini adalah partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran sedangkan variable independen adalah kinerja manajerial.
1. Partisipasi Penyusunan Anggaran
Partisipasi penyusunan anggaran adalah sejauh mana keterlibatan manajer dalam proses penyusunan anggaran pada saat pusat pertanggungjawaban yang mereka pimpin( Ma’ruf Sya’ban, 2004).
Pengukuran partisipasi anggaran menggunakan instrument berupa daftar pertanyaan yang terdiri dari lima item pernyataan yang dikembangkan oleh Kennis (1979). Setiap item diberi skor 1 sampai 5 (Sangat Tidak Setuju = 1, Tidak Setuju = 2, Netral = 3, Setuju = 4, Sangat Setuju = 5).
2. Kejelasan Sasaran Anggaran
Menurut Kennis (1979), kejelasan sasaran anggaran adalah penggambaran seberapa luas sasaran anggaran yang dinyatakan secara jelas dan spesifik, dan dimengerti oleh pihak yang bertanggung jawab terhadap pencapaiannya.
Pengukuran kejelasan sasaran anggaran menggunakan instrument berupa daftar pertanyaan yang terdiri dari tiga item pernyataan yang telah digunakan oleh Kennis (1979) dan Ratnawati (2002). Setiap item diberi skor 1 sampai 5. (Sangat Tidak Setuju = 1, Tidak Setuju = 2, Netral = 3, Setuju = 4, Sangat Setuju = 5).
3. Kinerja Manajerial
Kinerja Manajerial adalah kinerja para pegawai di SKPD Kota Metro yang mencakup tingkat kecakapan mereka dalam melaksanakan aktivitas manajemen yang meliputi perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi, pengawasan, pengaturan staff, negoisasi dan perwakilan. Variabel ini diukur dengan menggunakan instrument berupa daftar pertanyaan yang terdiri dari sembilan item pertanyaan. Setiap item diberi skor 1 sampai 5 (Sangat Rendah = 1, Rendah = 2, Sedang = 3, Tinggi = 4, Sangat Tinggi = 5). Dimana setiap responden diminta untuk mengukur sendiri kinerjanya (Mahoney, 1963 dalam Kurnia, 2002).
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis untuk mendapatkan data yang diperlukan adalah sebagai berikut :
1. Penelitian Lapangan ( Field Research )
Dalam penelitian ini, penulis meninjau secara langsung obyek penelitian untuk memperoleh data-data yang diperlukan. Pengumpulan data tersebut dilakukan melalui kuesioner, dimana responden menjawab pernyataan-pernyataan yang telah disediakan dalam kuesioner. Penyebaran kuesioner pada responden dilakukan dengan mendatangi langsung obyek yang diteliti.
2. Penelitian Kepustakaan ( Library Research )
Dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara membaca dan mengumpulkan data berdasarkan literatur, karya ilmiah artikel, internet dan sumber bacaan lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan program aplikasi SPSS for windows versi 16. Menurut ( Sarwono, 2006:1) SPSS merupakan aplikasi yang digunakan untuk melakukan perhitungan statistik dengan menggunakan komputer. Adapun analisis data penelitian ini sebagai berikut:
1. Statistik Deskriptif
Untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2008 : 147).
2. Uji Kualitas Data
Data responden yang telah dikumpulkan dengan kuisioner, sebelum diolah lebih lanjut harus di uji validitas dan realibilitas datanya terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar data yang diperoleh tersebut benar-benar valid dan dapat dipercaya.
Uji Validitas digunakan untuk mengetahui seberapa jauh alat pengukur dapat mengungkapkan gejala-gejala yang dapat diukur dan untuk memberikan seberapa jauh alat pengukur memberikan gambaran tentang obyek yang diukurnya. Uji validitas ini dilakukan dengan analisis korelasi product moment. Rumus dan korelasi product moment yaitu:
rxy =
Keterangan:
n : Jumlah sampel
y : Skor total
x : Skor masing - masing pertanyaan
rxy : Koefisien korelasi atau validitas yang dicari
Hasil dinyatakan valid jika r lebih atau sama dengan 0,3 (Sugiyono, 2001:106).
Uji Reliabilitas hanya dilakukan pada pernyataan yang telah dianggap valid. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah hasil pengukuran dapat konsisten, yaitu apakah alat ukur yang dapat diterapkan pada obyek yang sama berulang dan menghasilkan ukuran yang mendekati ukuran sebelumnya maka alat tersebut reliabel. Uji ini dilakukan dengan menghitung cronbach’s alpha dan masing-masing instrumen dalam satu variabel. Instrumen dipakai dalam variabel dikatakan andal jika cronbach alpha lebih dan 0,60 (Sekaran, 2000).
Keterangan:
r : Reliabilitas yang di uji
n : Jumlah butir pertanyaan
: Jumlah varian seluruh butir
: Varian total
3. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan dalam model regresi variable terkait dan variable bebas, keduanya mempunyai distribusi.
Munurut (Suharyadi, 2004 : 528), multikolinieritas dikemukakan pertama kali oleh Ragner Frish dalam bukunya “Statistical Confluence Analysis by Mean of Complete Regresion System”. Frish menyatakan bahwa multikolinieritas adalah adanya lebih dari satu hubungan linier yang sempurna. Jika dalam regresi ganda ditemukan multikolinier maka koefisien regresi dari variabel bebas tidak dapat ditentukan dan standar errornya tidak terhingga. Multikolinearitas dapat dilihat pada tolerance value atau variance inflation factor ( VIF ) diatas 10 maka terjadi multikolinearitas.
Heteroskedastisitas adalah pelanggaran dimana nilai residu ternyata tidak bersifat konstan untuk semua data Y (Suharyadi, 2004 : 534). Heteroskedastisitas menguji terjadinya perbedaan variance residual suatu periode pengamatan ke periode pengamatan yang lain. Jika varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah model regresi yang memiliki persamaan variance residual suatu periode pengamatan dengan periode pengamatan yang lain, atau adanya pengaruh antara nilai tersebut sehingga dapat dikatakan model tersebut homoskedastisitas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan metode chart (diagram scatterplot), dengan dasar pemikiran bahwa :
1. Jika ada pola tertentu terdaftar titik-titik (point-point), yang ada membentuk suatu pola tertentu yang beraturan (bergelombang, melebar, kemudian menyempit), maka terjadi heteroskedastisitas.
2. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik (point-point) menyebar keatas dan dibawah 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisistas.
4. Analisis Regresi Berganda
Penelitian ini menggunakan model analisis regresi berganda (multiple regression analysis) untuk menganalisis besarnya pengaruh partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja manajerial variabel dependen yaitu tingkat kinerja manajerial yang diregresi terhadap dua variabel independen, yaitu partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran. Bentuk persamaan yang dpakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Y1 = β0+β1X1+β2X2+e
Keterangan :
Y1 : Kinerja Manajerial
X1 : Partisipasi Penyusunan Anggaran
X2 : Kejelasan Sasaran Anggaran
β0 : konstanta
e : kesalahan acak (error term)
β1,β2, : koefisien regresi variabel independen
5. Pengujian hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan melalui model regresi linear berganda. Tingkat signifikansi 5%. Semua pengolahan data dilakukan dengan program SPSS 16,0 for windows.
Pengujian Parsial (Uji t)
Menurut (Suharyadi, 2004 : 523) untuk mengetahui kemampuan variabel dependen berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel independenya digunakan uji-t (t-Student). Uji-t merupakan suatu prosedur yang mana hasil sampel dapat digunakan untuk verifikasi kebenaran atau kesalahan hipotesis ( Ha )
Keputusan untuk menerima atau menolak hipotesis ( Ha ) dibuat berdasarkan nilai uji statistik yang diperoleh dari data. Kriteria pengujian adalah:
1) Jika probabilitas > 0,05 maka Ha ditolak. Hal ini berarti bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran berpengaruh terhadap kinerja manajerial ditolak.
2) Jika probabilitas < 0,05 maka Ha diterima. Hal ini berarti bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran berpengaruh terhadap kinerja manajerial diterima.
Pengujian Kesesuaian Model (Uji F)
Uji F digunakan untuk menguji tingkat signifikansi koefisien regresi variabel independen secara serempak terhadap variabel dependen. Kriteria pengujiannya adalah:
Jika probabilitas > 0,05 maka Ha ditolak, jika probabilitas < 0,05 maka Ha diterima.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis data dalam penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan untuk mencapai tujuan penelitian seperti yang telah diuraikan didepan. Data diperoleh dari kuesioner, kemudian dikuantitatifkan agar dapat dianalisis secara statistik. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat explanatory yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pengaruh partisipasi penyusunan dan kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja manajerial. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pegawai struktural eselon II dan III pada 21 SKPD Kota Metro yang diambil dengan metode purposive sampling. Secara rinci jumlah responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Distribusi Kuesioner dan Perhitungan Jumlah Sampel
No SKPD Distribusi Kuesioner Respons rate
Disebar Kembali Tidak lengkap Lengkap
1 Bappeda 7 4 1 3 43%
2 BKPPD 6 4 1 3 50%
3 Badan Pelaksana dan penyuluh 5 4 1 3 60%
4 BKKB & PP 6 5 2 3 50%
5 Badan kesbang & linmas 4 3 - 3 75%
6 DPKKA 6 5 2 3 50%
7 Dinas kesehatan 6 3 1 2 33%
8 Dinas Pendidikan 6 4 2 2 33%
9 Dinas Pertanian 6 5 2 3 50%
10 Dinas Perindag & koperasi 6 4 1 3 50%
11 Dinas Hubkoinfo 6 3 1 2 33%
12 Dinas PU 6 3 1 2 33%
13 Dinas Tata Kota & Perumahan 6 3 1 2 33%
14 Disosnaker 5 4 - 4 80%
15 Dinas Pasar 6 3 - 3 50%
16 Dinas Budparpora 6 5 2 3 50%
17 Disduk Capil 6 5 2 3 50%
18 Kantor PPT 1 1 - 1 100%
19 Kantor Ketahanan pangan 1 1 - 1 100%
20 Kantor Lingkungan hidup 1 1 - 1 100%
21 Kantor Pustakarda 1 1 - 1 100%
Jumlah 103 71 20 51 69%
Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Dilihat dari tabel di atas berarti bahwa tingkat pengembalian kuesioner dalam penelitian ini cukup tinggi yaitu sekitar 69% (71/103). Namun dari 71 kuesioner yang kembali, ada 20 kuesioner yang tidak terisi dengan lengkap. Sehingga jumlah kuesioner yang layak atau dapat dipergunakan hanya 51 kuesioner. Adapun secara deskriptive data tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Tabel 2
Deskripsi Statistik
Variabel Rentang Teoritis Rentang Actual
Minimum Maksimum Rata- rata Minimum Maksimum Rata- rata
Partisipasi Penyusunan Anggaran 5 25 15 18 25 21,96
Kejelasan Sasaran Anggaran 3 15 9 11 15 13,55
Kinerja Manajerial 9 45 27 33 45 39
Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Pada tabel 2 diketahui bahwa Partisipasi Penyusunan Anggaran di SKPD Kota Metro cukup tinggi hal tersebut terlihat dari rata – rata rentang actual sebesar 21,96 yang melebihi rata–rata rentang teoritis sebesar 15.Untuk variabel Kejelasan Sasaran Anggaran memiliki rata- rata rentang actual sebesar 13,55 yang melebihi rata- rata rentang hipotesis sebesar 9 hal ini menunjukkan bahwa Kejelasan Sasaran Anggaran di SKPD Kota Metro cukup jelas.Begitu pula dengan Kinerja manajerial yang mempunyai rata- rata rentang actual sebesar 39 melebihi rata – rata rentang hipotesis sebesar 27 hal ini berarti bahwa kinerja pegawai di SKPD Kota Metro yang mencakup tingkat kecakapan mereka dalam melaksanakan aktivitas manajemen yang meliputi perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi , pengawasan, pengaturan staff, negoisasi dan perwakilan cukup tinggi.
Uji Kualitas Data
Data yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner sebelum diolah lebih lanjut terlebih dahulu di uji validitas dan realibilitas. Uji Validitas dan Realibilitas kuesioner ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 16.
Uji validitas bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh alat pengukur dapat mengungkapkan gejala – gejala yang diukur. Dalam menentukan validitas angket, penulis menggunakan rumus korelasi product moment pearson. Instrumen penelitian dikatakan valid apabila korelasinya (rxy) melebihi angka kritis pada taraf signifikansi 0,3. Hasil uji validitas menunjukkan bahwa seluru item pertanyaan dalam kuesioner mempunyai item-total correlation > 0,3 maka dapat disimpulkan bahwa seluruh item pertanyaan dalam kuesioner adalah valid.
Reliabilitas adalah pengujian tingkat kestabilan dari suatu alat pengukur suatu gejala atau kejadian. Semakin tinggi tingkat reliabilitas suatu alat ukur, maka semakin stabil dan semakin dapat diandalkan. Pengujian reliabilitasdilakukan dengan teknik Cronbach’s Alpha, dengan jumlah sampel 51 responden.
Suatu instrumen penelitian dinyatakan reliabel apabila nilai alpha > 0,60 (Imam Ghozali, 2000: 177). Hasil Uji reliabilitas dari masing-masing instrumen dalam varibel penelitian sebagai berikut :
Tabel 3
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Croanbach’s Alpha Keterangan
Partisipasi Penyusunan Anggaran (X1) 0,877 Reliabel
Kejelasan Sasaran Anggaran (X2) 0,658 Reliabel
Kinerja Manajerial (Y) 0,821 Reliabel
Sumber : Data diolah 2010
Semua variabel dalam penelitian mempunyai Cronbach’s Alpha lebih dari 0,6, sehingga dapat dikatakan bahwa semua variabel yaitu partisipasi penyusunan anggaran, kejelasan sasaran anggaran dan kinerja manajerial adalah reliabel.
Uji Asumsi Klasik
Multikolinearitas adalah suatu kondisi hubungan linear antara variabel independen yang satu dengan yang lainnya dalam model regresi. Cara untuk menguji adanya multikolinearitas dapat dilihat pada Variance Inflation Factor (VIF). Batas VIF adalah 10. Jika nilai VIF diatas 10 maka terjadi multikolinearitas.
Tabel 4
Tabel Nilai VIF
Variabel VIF Keterangan
Partisipasi Penyusunan Anggaran ( X1 ) 2,259 Tdk multikolinearitas
Kejelasan Sasaran Anggaran ( X2 ) 2,259 Tdk multikolinearitas
Sumber : Data diolah 2010
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa model regresi yang diajukan tidak terjadi gejala multikolinearitas. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan metode chart (diagram scatterplot), dengan dasar pemikiran bahwa :
1. Jika ada pola tertentu terdaftar titik-titik (point-point), yang ada membentuk suatu pola tertentu yang beraturan (bergelombang, melebar, kemudian menyempit), maka terjadi heteroskedastisitas.
2. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik (point-point) menyebar keatas dan dibawah 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisistas. Dari output SPSS 16.0 diperoleh chart sebagai berikut :
Gambar 2
Diagram Scatterplot
Sumber : Data diolah 2010
Berdasarkan chart diatas terlihat bahwa ada pola yang jelas serta titik-titik yang menyebar keatas dan dibawah 0, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas.
Analisis Regresi Linear Berganda
Dari perhitungan regresi linier berganda (dapat dilihat pada Tabel 4.6 ) dengan menggunakan program SPSS 16.0 for windows maka didapat hasil sebagai
berikut :
Tabel 5
Hasil Uji Regresi Linier Berganda
Variabel Koefisien Regresi
Partisipasi Anggaran ( X1 ) 0,87
Kejelasan sasaran anggaran ( X2 ) 0,88
Sumber : data diolah 2010
Y = 8,735 + 0,87 X1 + 0,88 X2
Dimana :
Y = Kinerja Manajerial
X1 = Partisipasi Penyusunan Anggaran
X2 = Kejelasan Sasaran Anggaran
Dari persamaan tersebut diatas dapat dijelaskan :
ß0 = 8,735 Nilai konstansta bernilai positif, artinya bahwa apabila partisipasi penyusunan anggaran ( X1 ) dan Kejelasan Sasaran Anggaran( X2 ) terhadap kinerja manajerial ( Y ) konstan, maka kinerja manajerial yang efektif sebesar 8,735 satuan.
ß1 = 0,87 Partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh positif terhadap Kinerja manajerial. Artinya jika partisipasi anggaran semakin baik maka kinerja manajerial yang efektif akan meningkat.
ß2 = 0,88. Kejelasan sasaran anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial. Artinya jika kejelasan sasaran anggaran semakin baik maka kinerja manajerial yang efektif akan meningkat.
Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan model analisis regresi berganda untuk menganalisis besarnya pengaruh partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja manajerial.
Pengujian hipotesis pertama ( Uji t )
Uji t digunakan untuk mengetahui apakah partisipasi penyusunan anggaran mempunyai pengaruh yang signifikan atau tidak terhadap kinerja manajerial. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh nilai t sebagai berikut:
Tabel 6
Uji Regresi Secara Parsial
Variabel Sig keterangan
Partisipasi Pnyusunan Anggaran ( X1) 0,00 signifikan
Sumber : Data diolah 2010
Untuk menginterprestasikan data pada tabel diatas kita kembali ke hipotesis yang menyatakan :
Ha1 = partisipasi penyusunan anggaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja manajerial
Kriteria pengujian :
Jika probabilitas > 0,05 maka Ha ditolak
Jika probabilitas < 0,05 maka Ha diterima
Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa partisipasi penyusunan anggaran merupakan variabel yang mempengaruhi kinerja manajerial. Probabilitas kesalahan sebesar 0,00 dibawah 0,05 dengan demikian thitung berada pada daerah H0 ditolak dan Ha diterima maka angka tersebut menunjukkan nilai yang signifikan yang artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial.
Dengan demikian hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Niken Safitri ( 2006 )yang menganalisis hubungan partisipasi dalam penyusunan anggaran berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan kinerja manajerial pada PT. Merapi Utama Pharma cabang Yogyakarta terhadap 65 karyawan dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Jadi partisipasi penyusunan anggaran yang tinggi dapat meningkatkan kinerja manajerial.
Pengujian hipotesis kedua (Uji t)
Uji t digunakan untuk mengetahui apakah kejelasan sasaran anggaran mempunyai pengaruh yang signifikan atau tidak terhadap kinerja manajerial secara parsial.
Tabel 7
Uji Regresi Secara Parsial
Variable sig keterangan
Kejelasan sasaran anggaran (X2) 0,00 Signifikan
Sumber : data diolah 2010
Untuk menginterprestasikan data pada tabel diatas kita kembali ke hipotesis yang menyatakan :
Ha2 = kejelasan sasaran anggaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja manajerial
Kriteria pengujian :
Jika probabilitas > 0,05 maka Ha ditolak
Jika probabilitas < 0,05 maka Ha diterima
Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa Kejelasan Sasaran Anggaran merupakan variabel yang mempengaruhi kinerja manajerial. Probabilitas kesalahan sebesar 0,00 dibawah 0,05 dengan demikian thitung berada pada daerah H0 ditolak dan Ha diterima maka angka tersebut menunjukkan nilai yang signifikan yang artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja manajerial.
Dengan demikian hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Apri Ardwiansa Hari Prana ( 2008 ), dimana dalam penelitiannya menemukan bahwa kejelasan sasaran anggaran menpumyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja manajerial.
Hasil Uji Kesesuaian Model ( Uji F)
Pengujian ini untuk menguji apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja manajerial secara serempak.. Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda dengan bantuan SPSS16.0.
Tabel 8
Hasil Uji Regresi Secara Serempak
Probabilitas ( signifikan – F ) Keterangan
0,00 Signifikan
Sumber: data diolah 2010
Kriteria pengujian :
Jika probabilitas > 0,05 maka Ha ditolak
Jika probabilitas < 0,05 maka Ha diterima
Dapat dilihat tabel 4.8 diatas bahwa nilai probabilitas hitung adalah 0,00 yaitu < 0,05 maka keputusannya Ha diterima. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar hasil uji parsial dibawah ini.
Gambar 3
Hasil Uji Parsial
8,072
4,235
Gambar di atas menunjukkan bahwa pada variabel partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial sebesar 8,072. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi penyusunan anggaran mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja manajerial. Begitu pula dengan variabel kejelasan sasaran anggaran sebesar 4, 235. Hal ini menunjukkan bahwa kejelasan sasaran anggaran mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja manajerial.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pengaruh partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja manajerial. Hasil analisis data dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Partisipasi penyusunan anggaran memberikan pengaruh yang positif terhadap kinerja manajerial. Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas thitung untuk variabel partisipasi penyusunan anggaran sebesar 0,00 (ρ < 0,05), maka Ho ditolak. Berarti hipotesis pertama yang menyatakan bahwa “partisipasi penyusunan anggaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja manajerial”. Jadi partisipasi penyusunan anggaran yang tinggi dapat meningkatkan kinerja manajerial.
2. Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa kejelasan sasaran anggaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja manajerial. Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas thitung untuk variabel kejelasan sasaran anggaran sebesar 0,00 ( p < 0,05 ), maka Ho ditolak. Berarti hipotesis kedua yang menyatakan bahwa “kejelasan sasaran anggaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja manajerial”. Jadi kejelasan sasaran anggaran yang jelas dapat meningkatkan kinerja manajerial.
3. Setelah dilakukan pengujian kesesuaian model pada tingkat signifikansi 0,05, diperoleh hasil bahwa partisipasi anggaran dan kejelasan sasaran anggaran secara serempak mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja manajerial.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, penulis memberikan saran bagi penulis selanjutnya sebagai berikut :
1. Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan memperluas responden tidak hanya pegawai struktural eselon II dan III di SKPD saja, tetapi dapat memperluas sampel pada instansi yang lain sehingga daya generalisasi hasil penelitian dapat diperbesar.
2. Penelitian selanjutnya sebaiknya mengembangkan variabel-variabel yang diteliti, sebab tidak menutup kemungkinan bahwa dengan penelitian yang mencakup lebih banyak variabel akan dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
Abriyani, Puspaningsih, 1998. Pengaruh Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Manajer : Role Ambiguity sebagai Variabel Antara, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Adisaputro, Gunawan dan Asri, Marwan. 1995. “Anggaran Perusahaan” 1 Edisi Ketiga. BPFE. Yogyakarta.
Agus, Irianto. 2008. Statistik:konsep dasar dan aplikasi statistik : Prenada Media Group, Jakarta.
Amir, M. Faisal. 2006. Mengolah dan Membuat Interprestasi Hasil Olahan SPSS Untuk Penelitian Ilmiah. Edsa Mahkota. Jakarta
Apri Ardwiansa Hari Prana. 2008. Pengaruh Kejelasan Sasaran Anggaran dan Komitmen Organisasi Terhadap Hubungan Partisipasi Anggaran dan Keefektifan Anggaran pada Rumah Sakit di Wilayah Solo.Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Bambang Supomo dan Nur Indiantoro, 1998, “ Pengaruh Struktur dan Kultur Organisasi Terhadap Keefektifan Anggaran Partisipasi dalam Peningkatan Kinerja Manajerial (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur)”. Kelola, No.18/VII,1998
Dinni Anissarahma. 2008. Pengaruh Partisipasi Anggaran, Informasi Asimetris, Budget Emphasis dan Komitmen Organisasi Terhadap Timbulnya Snack Anggaran (Studi Kasus Pada PT. Telkom Yogyakarta. Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia.
Garrison & Noreen, (Terjemahan), 2000. Akuntansi Manajerial, Salemba Empat, Jakarta,
Ghozali, Imam. 2001. ”Aplikasi Anlisis Multivari dengan SPSS“. BP UNDIP, Semarang
Ida Ayu Mas May Murthi. 2008. Pengaruh Budgetary Goal Characteristics Terhadap Kinerja Manajerial Pada Rumah Sakit Pemerintah Di Kota Denpasar . Universitas Udayana. Denpasar.
Iqbal, Hasan. 2002.”Metode Penelitian dan Aplikasinya“. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Mahsun, Mohammad. 2002. ”Pengukuran Kinerja Sektor Publik”. Edisi Pertama.BPFE. Yogyakarta.
Mulyadi. 2002, “Akuntansi Manajemen”. Salemba Empat. Jakarta
Niken Safitri. 2006. Pengaruh Partisipasi Dalam Penyusunan Anggaran Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan:Job RelevantInformation (JRI) sebagai variabel antara (Studi Pada PT. Merapi Utama Pharma Cabang Yogyakarta. Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia.
Purwanto, Suharyadi S.K. 2004. Statistika Untuk Ekonomi Dan Keuangan Modern : Salemba Empat. Jakarta.
Ratnawati Kurnia. Pengaruh Budgetary Goal Characteristics Terhadap Kinerja Manajerial Dengan Budaya Paternalistik Dan Komitmen Organisasi Sebagai Moderating Variabel (Studi Empiris Pada Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah III).
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Alfabeta : Bandung.
Supriyono, RA. 2004. “Pengaruh Variabel Intervening Kecukupan Anggaran dan Komitmen Organisasi Terhadap Hubungan Partisipasi Penganggaran dan Kinerja Manajer di Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Nomor 3, 2004: 282-298.
Sya’ban, Ma’ruf, 2004, “Pengaruh Sistem Penganggaran dan Komitmen Organisasi Terhadap Hubungan Partisipasi Anggaran dan Keefektifan Anggaran pada Koperasi di Surabaya”. Balance, Th.1, Nomor 1 Januari 2004: 48-59.
T. Hani Handoko.1996. Manajemen. BPFE. Yogyakarta.
Trisnawati, Rina. 2000, “Pengaruh Karakteristik Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial”. Empirika, No 25.
Rabu, 20 April 2011
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM PEMBENTUKAN PRILAKU DAN BUDAYA ETIS ORGANISASI Oleh: Suyanto
ABSTRAK
Pemimpin suatu organisasi mempunyai peran sentral dan penting dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Pembentukan perilaku dan budaya yang etis bukanlah proses yang pasif. Namun melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Selain itu, pemimpin harus memberikan ketauladanan berdasarkan perilaku-perilaku maupun keputusan-keputusan yang diambil secara bijaksana. Suatu iklim organisasi dikatakan etis jika mencerminkan tiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggar hak orang lain (rights).
Kata Kunci: Kepemimpinan, Prilaku, Budaya etis.
Pendahuluan
Pemimpin suatu organisasi mempunyai peran sentral dan sangat penting dalam menentukan menjadi seperti apa organisasi tersebut. Tidak peduli apakah itu organisasi bisnis yang berorientasi profit maupun organisasi nirlaba. Peran pemimpin ini dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang dipimpin (pengikut) dan struktur dari organisasi itu sendiri, disamping tentu saja oleh faktor-faktor lain yang menjadi nilai dalam masyarakat di sekitar organisasi tersebut.
Budaya yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai, kebiasaan, ritual, mitos maupun praktek-praktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins, 2003) semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya tersebut memiliki peran sebagai pemberi identitas dan "normative glue". Pemimpin dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya.
Sebagai contoh, dalam masyarakat pedesaan yang budaya paternalistiknya masih kuat, nilai-nilai dan aturan-aturan kemasyarakatannya akan sangat ditentukan atau dipengaruhi oleh tokoh-tokoh masyarakatnya, seperti Lurah/Kepala Desa, Kyai/tokoh agama dan guru/pendidik yang tinggal dan hidup bersama mereka. Pola hidup dan pola pikir masyarakat desa relatif homogen, sehingga lebih mudah dikendalikan. Penghargaan mereka kepada para pemimpin sangat besar, sehingga mereka sangat percaya kepada para pemimpin dan mau menuruti apapun yang diinginkan oleh para pemimpin.
Akan sangat berbeda dengan masyarakat kota, dimana nilai-nilai yang dianut oleh warganya sudah cukup heterogen. Pola hidup dan tingkat kesejahteraannya juga cukup beragam. Pola pikir masyarakat kota juga sangat beragam, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pergaulan mereka. Tingkat pendidikan dan pola pergaulan sehari-hari akan sangat mempengaruhi nilai-nilai yang dipercaya dan dianut oleh masyarakat kota. Berbeda dengan masyarakat desa, masyarakat kota yang lebih berpengetahuan akan lebih rasional, lebih kritis, lebih berani menyatakan perbedaan nilai, keinginan maupun prinsip dalam berelasi/bergaul dengan sesamanya. Dalam kondisi yang demikian memang akan ada fenomena masyarakat tidak percaya atau mengikuti begitu saja apa kata pemimpinnya, sepanjang ada kebebasan menyatakan pendapat atau mengekspresikan diri sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Perbedaan budaya, pola pikir, nilai-nilai yang diakui dan diyakini, serta berbagai faktor sosial ekonomi lain menyebabkan pengaruh pemimpin terhadap pengikutnya menjadi berbeda. Hal itu nampak dalam contoh pembandingan antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Struktur atau pola relasi dalam masyarakat atau komunitas juga menyebabkan pengaruh dan mekanisme kepemimpinan menjadi berbeda. Masyarakat komunis atau yang hidup dengan sistem relasi kediktatoran terpaksa mengikuti apa kata pemimpinnya, sehingga sepintas nampak pola kepemimpinannya akan sangat efektif. Hal ini nampak jelas pada jaman Hitler memimpin Jerman.
Ilustrasi diatas hanya dimaksudkan untuk memberi gambaran umum betapa pemimpin dan kepemimpinan sangat dipengaruhi dengan kondisi ideologi, sosial, budaya dan ekonomi dari masyarakatnya/anggota komunitasnya. Berdasarkan uraian di atas, pokok masalah yang akan dikaji dalam artikel ini adalah "bagaimanakah peran pemimpin dalam pembentukan perilaku dan budaya etis pada organisasi".
Pembahasan
A.Pemimpin dan Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan merupakan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang yang sangat luas dan memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pemasaran, pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap masyarakat timbul dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin adalah orang kebanyakan. Tanpa adanya seorang pemimpin maka tujuan organisasi yang dibuat tidak akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada.
Jika melihat perkembangan berbagai teori mengenai kepemimpinan yang ada, maka timbul suatu kesadaran bahwa perkembangan teori kepemimpinan telah berkembang sedemikian pesat sejalan dengan perkembangan kehidupan yang ada. Kepemimpinan tidak lagi dipandang sebagai penunjuk jalan namun sebagai partner yang bersama-sama dengan anggota lain berusaha mencapai tujuan.
Bermula dari pengertian kepemimpinan itu sendiri, sejak awal mula telah begitu banyak ahli mencoba mendefinisikannya dengan berbagai aspek dan pendekatannya. Istilah ini pun telah sangat dikenal dalam kehidupan sehari-hari karena menyangkut bidang yang sangat luas. Menurut Stogdill (1974) kepemimpinan dianggapnya sebagai proses atau tindakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Fiedler (1967) menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap sekelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan.
Dari dua definisi yang telah diajukan tersebut secara jelas menunjukkan bagaimana kepemimpinan tersebut diartikan, yaitu berkaitan usaha mempengaruhi dan menggunakan wewenang. Pengertian tersebut memberi suatu pemikiran bahwa pemimpin dipandang sebagai orang yang memiliki kecakapan lebih dalam usaha untuk memotivasi orang melakukan sesuatu seperti yang diharapkan pemimpin.
Salah satu teori mengenai kepemimpinan paling awal yaitu teori sifat memandang bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, yaitu : memiliki inteligensi yang tinggi, berkharisma, mampu membuat keputusan, antusias, memiliki kekuatan, berani, memiliki integritas, dan percaya diri. Banyak contoh mengenai pemimpin dengan karakteristik demikian, antara lain : Mahatma Gandhi, Martin Luther, Jr. Joan of Arc, dan sebagainya. Namun pada kenyataannya, tidak semua pemimpin memiliki kesemua karakeristik, ada diantara mereka yang hanya memiliki beberapa dari karakteristik tersebut namun telah mampu menggerakkan orang kebanyakan. Teori ini mendasarkan pemikiran bahwa pemimpin itu dilahirkan.
Pandangan teori yang lebih baru memperkenalkan kepemimpinan situasional, yaitu keberhasilan kepemimpinan melibatkan sesuatu yang lebih kompleks dari hanya sekedar sifat-sifat tertentu atau perilaku-perilaku yang diinginkan. Hubungan antara gaya kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan bergantung pada sejumlah kondisi, satu gaya kepemimpinan hanya tepat diterapkan pada satu kondisi atau situasi tertentu (Robbins, 2003). Jadi dengan demikian seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kepekaan membaca situasi sehingga ia tahu mana gaya yang paling tepat yang harus dia munculkan dalam situasi tersebut.
Pendapat Philip Crosby (1996) yang menyatakan bahwa berdasar pada pengalamannya pribadi selama bertahun-tahun kualitas kepemimpinan tidak hanya sekedar kemampuan untuk merespon secara efektif terhadap situasi tertentu, tetapi seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang diarahkan oleh kemutlakan tertentu (certain absolute). Dia melihat praktek kepemimpinan sebagai suatu penjabaran dari keyakinan pemimpin yaitu suatu inti kompetensi personal yang tinggi dari seorang pemimpin. Kualitas kepemimpinan tumbuh dan tercipta dari hubungan dengan orang-orang lain dalam organisasi dan bahwa pemimpin harus meluangkan waktu untuk menjaga hubungan tersebut. Penekanan pemimpin yang sesungguhnya adalah seseorang yang mengetahui bahwa keberhasilannya tidak tergantung pada "title-nya", tetapi pada pilihan yang mereka buat dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh untuk membuat keputusan secara bijaksana.
Berdasarkan uraian di atas, kepemimpinan terkandung pengertian bahwa memilih orang secara berhati-hati dan mengarahkan mereka untuk mencapai tujuan yang ada dengan jelas dalam pikiran, mendorong orang untuk berusaha mencapai tujuan, mengarahkan untuk peka terhadap segala yang terjadi serta mengambil sikap tertentu untuk mengantisipasinya, yang terakhir adalah bahwa pemimpin harus memiliki agenda yang jelas mengenai apa dan bagaimana kehendak mereka.
Kepemimpinan yang absolut menurut Crosby adalah kepemimpinan yang memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
1.Clear agenda, seorang pemimpin idealnya memiliki dua agenda: satu agenda bagi dirinya sendiri, dan yang kedua adalah agenda bagi organisasinya. Tujuan dari agenda organisasi adalah untuk menentukan kerangka kerja dari semua pekerjaan yang dilakukan; sedangkan personal agenda berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pimpinan pribadi sesuai dengan apa yang memang sungguh-sungguh ia inginkan bagi dirinya sendiri, dan hanya dia pribadi yang mengetahui. Dalam hal ini agenda tersebut harus dapat diungkapkan dalam kalimat yang dapat dengan jelas diterima dan tujuan yang ditentukan dapat diukur.
2.Personal Philosophy, seorang pemimpin hendaknya memiliki pilosofi pelaksanaan yang bersifat pragmatis dan dapat dipahami. Kerangka kerja dari pelaksanaan philosophi tersebut diciptakan dari belajar, inovasi dan keputusan.
3.Enduring Relationship, kehidupan organisasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah transaksi dan hubungan. Kunci untuk menjaga suatu hubungan adalah adanya penghargaan terhadap orang lain, memandang orang lain dengan cara yang positif dan keinginan untuk bekerja sama. Orang lain dalam hal ini tidak hanya terbatas pada anggota-anggota saja tetapi termasuk di dalamnya adalah customers, coworkers, maupun suppliers.
4.Worldly, mendunia (being worldly) berkaitan dengan budaya lain, tekhnologi, dan pengumpulan informasi. Hal ini berarti pula bagaimana pemimpin mampu memanfaatkan tekhnologi-tekhnologi baru, memahami pasar global, penghargaan terhadap orang lain.
Pendapat-pendapat di atas nampaknya telah menggambarkan peran apa yang sebaiknya dibawakan oleh pemimpin. Pada dasarnya kepemimpinan menuntut kapabilitas yang tinggi. Pemimpin dalam hal ini menentukan dimana bisnis hendak berlangsung, sasran-sasaran yang hendak dicapai baik intenal maupun eksternal, aset dan skill yang diperlukan, kesempatan dan resiko-resiko yang dihadapi. Pemimpin dalam hal ini adalah ahli strategi yang memastikan bahwa sasaran organisasi akan dapat tercapai. Dalam hal ini perubahan sosial, inovasi tekhnologi dan meningkatnya kompetisi merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pemimpin.
Pada akhirnya hanya pemimpin-pemimpin yang memiliki komitmen yang jelaslah yang mampu menyelamatkan organisasi dari situasi yang kompleks. Pendapat-pendapat memberi sumbangan yang jelas mengenai bagaimana pemimpin seharusnya bertindak dalam setiap situasi yang dihadapi. Di atas kesemuanya itu, sebagaimana Schein berpendapat bahwa setiap pemimpin hendaknya tidak melupakan akar budaya yang mereka miliki. Dengan menggali budaya yang dimiliki pemimpin dapat mengetahui kekuatan dan kelemahannya, sehingga mereka mengetahui sikap yang harus diambil, terutama jika situasi dan kondisi lingkungan sudah sedemikian krusial.
Teori kepemimpinan lain berfokus pada situasi atau konteks dari kepemimpinan. Mereka menekankan pada tugas yang memang perlu dilakukan dan lingkungan luar, termasuk sejarah, ekonomi, faktor-faktor budaya, dan karakteristik dari pengikutnya. Teori situasional tidak secara eksplisit mengatakan sesuatu tentang nilai-nilai, tetapi menduga bahwa dalam beberapa situasi seseorang dengan nilai-nilai moral khusus yang kuat harus muncul sebagai pemimpin. Contoh yang paling jelas adalah Nelson Mandela, dia adalah the right man at the right time.
Teori yang lain menggabungkan teori sifat-sifat atau ”The Great Man” dengan model situasional dan fokus pada interaksi antara pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin berperan membimbing organisasi di sepanjang jalurnya sehingga menyebabkan semua orang menjadi terlibat atau ikut serta. Di sini nilai-nilai memainkan peranan penting. Pertanyaan yang penting dalam studi tentang teori ini adalah: Apakah pemimpin lebih efektif ketika mereka bisa menjalin hubungan baik dengan pengikutnya, atau Apakah pemimpin lebih efektif ketika mereka menggunakan teknik tertentu untuk menyusun dan memerintahkan tugas-tugas. Apakah kepemimpinan itu soal hubungan moral atau teknik. Jawabannya adalah harus keduanya. Keduanya menekankan hubungan pemimpin dan pengikutnya dan pentingnya nilai-nilai dalam proses kepemimpinan. Hal penting dari pernyataan tersebut adalah pemimpin tidak hanya mempunyai nilai, mereka membantu pengikutnya membangun nilai-nilai mereka sendiri, yang akan sangat mendukung atau sesuai dengan nilai-nilai organisasi dan selanjutnya diharapkan menjadi prilaku dan budaya etis dalam organisasi.
B. Perilaku dan Budaya Etis dalam Organisasi
Apa yang menyusun perilaku etis yang aik belum pernah terdefinisikan dengan jelas. Namun, secara umum perilaku etis merupakan suatu reaksi dari sikap individu yang didalamnya harus menentukan tindakan yang benar dan yang salah. Penilaian mengenai yang benar dan yang salah didasarkan pada seperangkat keyakinan individu ataupun kelompok dalam suatu organisasi.
Tindakan manusia (human action) merupakan subyek utama pertimbangan etis. Perilaku atau aktivitas yang dilakukan oleh individu secara sadar dan sengaja memiliki tanggung jawab atas aktivitas yang dipilih. Perilaku dapat menimbulkan isu etika ketika perilaku tersebut bermanfaat atau merugikan pihak lain. Contoh: Pakai dasi warna merah? Mencontek pekerjaan orang lain? Berselingkuh? Dan sebagainya, merupakan suatu tindakan yang memerlukan pertimbangan etis dengan didasakan pada keyakinan tentang manfaat dan kerugian yang akan diperolehnya. Dalam suatu organisasi, seorang pemimpin harus menciptakan iklim yang diwarnai dengan perilaku-perilaku etis tersebut dan dikembangkan menjadi suatu budaya dalam organisasinya. Perilaku etis dalam suatu organisasi akan tercermin pada tiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggar hak orang lain (rights).
Masalah budaya organisasi (Organization Culture) akhir-akhir ini telah menjadi suatu tinjauan yang sangat menarik terlebih dalam kondisi kerja yang tidak menentu. Budaya organisasi kembali digali guna menggali kekuatan-kekuatan diri yang telah dimiliki namun cenderung diabaikan. Pada saat lingkungan eksternal dianggap kurang mampu mengatasi masalah yang timbul, maka orang kembali menengok kekuatan yang ada meskipun hal itu diyakini pula tidak dapat menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Namun dengan menggali budaya yang ada, maka diharapkan dapat menggali kekuatan yang dimiliki.
Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada di dalamnya dan mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigu (Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.
Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekatnya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Budaya oleh Robbins (2003) diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos dan praktek-praktek yang terus berlanjut; mengarahkan orang untuk berperilaku dan dalam upaya memecahkan masalah. Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan bahwa budaya pada hakekatnya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia yang mencakup pikiran, ucapan, tindakan, artifak-artifak dan bergantung pada kapasitas manusia untuk belajar dan mentarnsmisikannya bagi keberhasilan generasi yang ada. Dari pengertian ini dapat ditangkap bahwa budaya organisasi tidak bisa begitu saja ditangkap dan dilihat oleh orang luar, namun dapat dipahami dan dirasakan melalui perilaku-perilaku anggotanya serta nilai-nilai yang mereka anut.
Deal dan Kennedy menambahkan bahwa nilai pada hakekatnya merupakan inti dari suatu budaya. Nilai memberikan suatu sence of common direction bagi semua anggotanya dan petunjuk bagi perilaku sehari-harinya. Semakin kuat nilai-nilai itu diinternalisasi maka semakin kuat pula budaya etis tersebut mempengaruhi kehidupan mereka. Terkadang budaya itu sedemikian kuat dan kohesif, sehingga setiap orang tahu tujuan organisasi dan mereka mau bekerja untuk mencapainya.
Budaya pada hakekatnya merupakan pondasi bagi suatu organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, ia tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Ada sejumlah tahapan bila suatu perusahaan ingin membentuk budaya yang etis. Pertama-tama perusahaan harus melihat ke depan mengenai apa visinya, kemudian sistem nilai apa yang dimiliki, selanjutnya bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam organisasi itu sendiri, dan akhirnya melihat bagaimana sumber dayanya. Dalam hal ini Susanto (1997) memiliki pendapat bahwa budaya organisasi dapat dihidupkan pertama-tama melalui seleksi, yaitu memperoleh anggota yang setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang ada; manajemen atas, dalam hal ini manajemen atas mempunyai peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui tindakan-tindakannya; sosialisasi, budaya yang ada hendaknya terus-menerus disosialisasi baik anggota baru maupun anggota lama, prosesnya dapat berupa orientasi dan pelatihan melalui cerita-cerita tentang pendiri, ritual-rital yang ada, simbol-simbol dan sebagainya.
Lebih lanjut, Schein (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) menambahkan bahwa proses terjadinya budaya perusahaan (organisasi) melalui tiga cara, yaitu:
1)Para wirausahawan mengambil dan mempertahankan bawahan-bawahan (anggota-anggota) yang berpikir dan merasakan cara yang mereka lakukan.
2)Mengindoktrinasi dan mensosialisasikan cara berpikir dan cara merasakan mereka.
3)Perilaku mereka sendiri adalah model peran yang mendorong anggota untuk mengidentifikasi dan menginternalisasi keyakinan, nilai-nilai dan asumsi-asumsi mereka.
Dengan demikian dapat dipahami bagaimana pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model bagi terciptanya nilai-nilai yang ada. Sehingga budaya yang dimiliki oleh suatu organisasi memiliki peran yang besar dalam pencapaian tujuan organisasi tersebut.
C. Peran Pemimpin dalam Pembentukan Perilaku dan Budaya
Masyarakat Indonesia yang bersifat paternalistik memberikan dampak bahwa peran pemimpin adalah sebagai bapak yang mengayomi dan membina anak buahnya. Figur inilah yang pada akhirnya menjadi panutan bagi seluruh anggotanya. Istilah ing ngarso sung tulodho nampaknya tepat guna mengambarkan bagaimana pola hubungan antara pimpinan dengan anak buah. Efek yang timbul adalah jika panutan ini hilang atau kabur fungsinya, maka yang timbul adalah kegelisahan karena orang menjadi kehilangan pegangannya.
Sejak awal ditegaskan bagaimana peran pemimpin dalam pembentukan perilaku dan budaya etis yang kondusif dalam organisasinya. Konsep metaphor budaya yang diperkenalkan oleh Morgan (1986) memberi sumbangan pemikiran bagaimana melihat organisasi dari pandangan pembentukan budaya (the view of enactment). Pandangan ini menekankan bagaimana seseorang membentuk dan menyusun realitas sosial yang ada dan menekankan peran aktif seseorang dalam menciptakan dunia yang diinginkan. Pada akhirnya metaphor budaya ini mendasari suatu konsep bagaimana budaya membentuk realitas yang terus berkelanjutan dalam suatu organisasi dan memberi dasar bagi terbentuknya perilaku dan budaya etis anggota-anggotanya. Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena harus mensosialisasikan nilai-nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama.
Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Seorang pemimpin untuk memiliki agenda yang jelas yang menyangkut diri dan organisasi sehingga ia tahu kemana arah yang dituju. Agenda tersebut seyogyanya menyangkut tujuan jangka panjang dan strategi jangka pendek yang hendak dicapai dengan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika situasi menjadi rancu dan ambigu. Justru dalam kondisi inilah akan nampak bagaimana peran pemimpin tersebut. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas, wawasan yang luas, pandangan yang jernih terhadap situasi yang dihadapi, dengan demikian ia dapat membuat suatu keputusan yang didasari oleh keinginan untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Pemimpin yang dapat menjadi pemimpin adalah seseorang yang memiliki personal philosophy yang teguh. Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh situasi yang ada di sekitarnya. Meskipun lingkungannya berubah demikian cepat, namun ia tetap punya komitmen dan konsisten tanpa kehilangan arah yang hendak dituju. Personal philisophy ini tidak begitu saja dimiliki oleh seorang pemimpin, namun tumbuh melalui proses belajar, memiliki kemauan melakukan inovasi, dan paling akhir adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang didasari oleh kedua hal di atas. Hal-hal di atas hanya dapat dilaksanakan jika ia memiliki kesabaran dan konsisten terhadap prinsip-prinsip yang dimiliki serta memiliki motivasi intrinsik.
Pada dasarnya seorang pemimpin menurut Myers (dalam Brooks, 2000) adalah seseorang yang berfungsi: membantu mendefiniskan dan mencapai tujuan kelompok, dalam hal ini pemimpin membuat kebijakan dan merumuskan tujuan; memantapkan kelompok terutama ketika timbul ketegangan, dalam hal ini andil pemimpin sangat besar dalam upaya mengurangi adanya perbedaan dan mengajak kelompok bekerja sama; memberikan simbol identifikasi, dalam hal ini pemimpin bertindak sebagi simbol sehingga kelompok dapat dimantapkan dalam suatu kesatuan. Berdasar pada hal itu, maka cukup jelas bagaimana sebenarnya peran pemimpin dalam penciptaan stabilitas sistem sosial.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat vital antara budaya dan kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin justru akan dilihat dalam pengaruh mereka secara langsung terhadap budaya organisasi. Pada dasarnya pemimpin berperan dalam pembentukan budaya, selanjutnya budaya membantu membentuk anggota-anggotanya. Pembentukan budaya yang etis tersebut hanya akan dapat dilihat lebih dekat melalui perilaku-perilaku etis para anggota serta semangat yang mendorongnya.
D. Faktor-faktor Penentu Keberhasilan
Setiap organisasi bertanggungjawab untuk berusaha mengembangkan suatu perilaku etis dalam organisasi yang tercermin pada keadilan (fairness), bermanfaat (profitability) dan tidak melanggar hak orang lain (rights). Nilai-nilai budaya tersebut harus dimiliki pada setiap individu dan menjadi dasar etika dalam pengelolaan suatu organisasi atau suatu entitas. Keberhasilan pembentukan perilaku dan budaya etis dalam organisasi sangat erat hubungan dengan hal-hal atau faktor-faktor penentu keberhasilan yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Faktor-faktor tersebut meliputi: komitmen dari top manajemen, lingkungan organisasi yang kondusif, perekrutan dan promosi karyawan, pelatihan berkelanjutan, dan saluran komunikasi yang efektif.
1. Komitmen dari Top Manajemen
Pemimpin harus memberikan tauladan dan kemauan yang kuat untuk membentuk perilaku dan budaya etis yang kuat dalam organisasi yang dipimpinnya. Peranan moral/kepribadian yang baik dari seorang pimpinan dan komitmennya yang kuat sangat mendorong tegaknya suatu etika prilaku dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak dan suri tauladan bagi seluruh anggotanya. Pimpinan tidak bisa menginginkan suatu etika dan perilaku yang tinggi dari suatu organisasi sementara pimpinan itu sendiri tidak sungguh-sungguh untuk mewujudkannya.
Dalam suatu unit organisasi terutama unit organisasi yang besar, dari pimpinan sangat dibutuhkan dua hal yaitu komitmen moral dan keterbukaan dalam komunikasi. Kedua hal tersebut dapat mewujudkan harapan munculnya perilaku dan budaya etis yang kuat. Pimpinan harus memperlihatkan kepada anggotanya tentang adanya kesesuian antara kata dengan perbuatan dan tidak memberikan toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar kaedah-kaedah etika organisasi yaitu dengan diberikan sanksi hukuman yang jelas. Demikian pula sebaliknya terhadap anggota yang berprestasi dan bermoral baik diberikan penghargaan yang proporsional. Adanya pelaksanaan hukuman dan penghargaan yang konsisten akan memberikan nilai tambah bagi terciptanya suatu perilaku dan budaya etis organisasi yang kuat.
2. Lingkungan Organisasi yang Kondusif
Dukungan dari lingkungan kerja sangat diperlukan dalam pembentukan perilaku dan budaya etis oganisasi yang kuat. Rendahnya kepedulian dan rendahnya moral akan menyuburkan tindakan tidak etis yang pada akhirnya akan merusak bahkan dapat menghancurkan organisasi. Faktor-faktor ketidak pedulian tersebut antara lain disebabkan oleh :
a)Top manajemen kurang peduli tentang hukuman dan penghargaan.
b)Umpan balik negatif oleh pegawai atas penempatan kerja yang tidak adil.
c)Pimpinan lebih bersifat otoriter dan kurang menghargai partisipasi karyawan
d)Anggaran yang tidak rasional dan adanya pemaksaan pencapaian terget yang tidak rasional tersebut.
e)Kurangnya pelatihan pegawai dan kurangnya kesempatan promosi.
f)Tidak jelasnya komunikasi dan sistem pertanggungjawaban organisasi
Bagian Personalia suatu organisasi hendaknya membantu dalam menciptakan instrumen yang mengarahkan kepada adanya budaya organisasi dan lingkungan kerja yang mendukung. Berikut ini hal-hal yang dapat membantu terwujudnya lingkungan kerja yang positif, yaitu :
a)Memperkenalkan reward system yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dan hasil.
b)Memiliki kesempatan yang sama bagi seluruh anggota/karyawan
c)Adanya tim orientik, kerjasama dalam mengambil suatu keputusan
d)Program kompensasi administarasi yang profesional
e)Program pelatihan yang profesional dan proritas dalam pembinaan karir.
Pemberdayaan karyawan dalam mengembangkan lingkungan kerja yang positif sangat membantu dalam pembentukan perilaku dan budaya etis organisasi. Mereka dapat memberikan pandangan-pandangan dalam pengembangan dan memperbarui etika dan aturan perilaku (code of conduc) yang berlaku dalam suatu organisasi, Karyawan juga memperlihatkan kontribusinya yang signifikan dalam berprilaku yang sesuai dengan code of conduct tersebut.
Pembentukan perilaku dan budaya etis organisasi disusun dari prinsip-prinsip yang dapat diterima dan seharusnya bukan hanya aturan yang keras atau kaku yang tidak dapat untuk menjawab atau diterapkan pada semua unit dalam organisasi. Namun perlu dilakukan observasi mengenai prinsip-prinsip yang dipakai agar dapat dipahami dan dapat mencerminkan sifat-sifat profesionalitas, kejujuran, integritas, dan loyalitas yang tinggi dalam membentuk organisasi yang bermoral. Disamping itu, organisasi yang memiliki otoritas harus berniat membantu dengan sikap mental yang kokoh dan konsekuen serta memiliki kemampuan untuk menghilangkan timbulnya perilaku tidak etis, melalui proses penegakan kedisiplinan dan dengan aturan perlaku yang ada, serta bebas dari pengaruh pertentangan kepentingan (conflict of interest).
3. Perekrutan dan Promosi Karyawan
Setiap anggota/karyawan memiliki seperangkat nilai-nilai kejujuran, integritas dan kode etik personal. Oleh karena itu, suatu organisasi atau entitas haus dapat memastikan berbagai kebijakan-kebijakan yang efektif yang dapat meminimalkan kemungkinan adanya merekrut atau mempromosikan pegawai yang memiliki tingkat kejujuran yang rendah , terutama untuk posisi yang memerlukan tingkat kepercayaaan.
4. Pelatihan yang Berkelanjutan
Karyawan baru sebaiknya diberi pelatihan tentang perilaku dan budaya etis serta nilai-nilai organisasi pada saat perekrutan. Komitmen untuk pendidikan yang berkelanjutan dan kesadaran bagi anggota atas permasalahan yang berkaitan dengan etika harus disusun untuk kepentingan organisasi dan relevan dengan keinginan anggota/karyawan organisasi. Sebagai tambahan dalam memberikan pelatihan pada saat perekrutan, para anggota sebaiknya memperoleh pelatihan secara periodik. Dengan demikian, pelatihan ini sebaiknya secara ekplisit dapat mengadopsi harapan-harapan dari seluruh anggota.
5. Saluran Komunikasi Yang Efektif
Manajemen membutuhkan informasi mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban pekerjaan. Masing-masing pegawai harus dapat menginformasikan tentang pelaksanaan kode etik tersebut mulai dari pemegang posisi tertinggi sampai yang terendah. Permintaan konfirmasi harus dilakukan bukan hanya formalitas saja tetapi laporan tersebut betul-betul dapat digunakan sebagai pencegahan dan pendekteksian bila terjadinya perbuatan tidak etis. Pegawai harus diberi kesempatan untuk melaporkan perbuatan tidak baik yang dilakukan pegawai lain, manajer atau kliennya. Sistem ini harus menjamin dan menjaga kerahasiaan pegawai.
Kesimpulan
Tindakan manusia (human action) merupakan subyek utama dari pertimbangan etis. Perilaku etis merupakan suatu reaksi dari sikap individu yang didalamnya harus menentukan tindakan yang benar dan yang salah. Penilaian mengenai benar dan salah didasarkan pada seperangkat keyakinan individu ataupun kelompok dalam suatu organisasi. Dalam suatu organisasi, seorang pemimpin harus menciptakan iklim yang diwarnai dengan perilaku-perilaku etis yang tercermin pada tiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggar hak orang lain (rights).
Pemimpin memiliki peran yang sangat besar dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Pembentukan perilaku dan budaya yang etis bukanlah proses yang pasif. Namun ia melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Selain itu, pemimpin harus memberikan tauladan berdasarkan perilaku-perilaku maupun keputusan-keputusan yang diambil secara bijaksana. Peran moral/kepribadian tersebut merupakan pondasi bagi tegaknya etika prilaku dan budaya etis dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak serta suri tauladan bagi seluruh anggotanya.
Daftar Pustaka
Brooks, L.J. 2000, Business and Professional Ethics for Accountants, South Western College Publishing.
Crosby, P. 1996. The Absolutes of Leadership. San Francisco. Jossey-Bass Publisher.
Fiedler, F.E. 1967. A Theory f Leadership Effectiveness. New York. McGraw-Hill.
Kennedy, D.L. 1996. Understanding Personal Power. Diambil dari Dynamics of Leadership. Bombay. Jaico Publ. House.
Robbins, Stephen.P. 2003. Organizational Behavior. Tenth Edition. New Jersey. By Person Education. Inc.
Schultz, D.P. 1982. Psychology in Industry Today. New York. MacMillan Publ. Co.
Suseno, F.M. 1991. Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta. PT Gramedia.
Stogdill, R.M. 1974. Handbook of Leadership. A Survey of Theory and Research. New York. The Free Press .
Pemimpin suatu organisasi mempunyai peran sentral dan penting dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Pembentukan perilaku dan budaya yang etis bukanlah proses yang pasif. Namun melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Selain itu, pemimpin harus memberikan ketauladanan berdasarkan perilaku-perilaku maupun keputusan-keputusan yang diambil secara bijaksana. Suatu iklim organisasi dikatakan etis jika mencerminkan tiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggar hak orang lain (rights).
Kata Kunci: Kepemimpinan, Prilaku, Budaya etis.
Pendahuluan
Pemimpin suatu organisasi mempunyai peran sentral dan sangat penting dalam menentukan menjadi seperti apa organisasi tersebut. Tidak peduli apakah itu organisasi bisnis yang berorientasi profit maupun organisasi nirlaba. Peran pemimpin ini dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang dipimpin (pengikut) dan struktur dari organisasi itu sendiri, disamping tentu saja oleh faktor-faktor lain yang menjadi nilai dalam masyarakat di sekitar organisasi tersebut.
Budaya yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai, kebiasaan, ritual, mitos maupun praktek-praktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins, 2003) semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya tersebut memiliki peran sebagai pemberi identitas dan "normative glue". Pemimpin dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya.
Sebagai contoh, dalam masyarakat pedesaan yang budaya paternalistiknya masih kuat, nilai-nilai dan aturan-aturan kemasyarakatannya akan sangat ditentukan atau dipengaruhi oleh tokoh-tokoh masyarakatnya, seperti Lurah/Kepala Desa, Kyai/tokoh agama dan guru/pendidik yang tinggal dan hidup bersama mereka. Pola hidup dan pola pikir masyarakat desa relatif homogen, sehingga lebih mudah dikendalikan. Penghargaan mereka kepada para pemimpin sangat besar, sehingga mereka sangat percaya kepada para pemimpin dan mau menuruti apapun yang diinginkan oleh para pemimpin.
Akan sangat berbeda dengan masyarakat kota, dimana nilai-nilai yang dianut oleh warganya sudah cukup heterogen. Pola hidup dan tingkat kesejahteraannya juga cukup beragam. Pola pikir masyarakat kota juga sangat beragam, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pergaulan mereka. Tingkat pendidikan dan pola pergaulan sehari-hari akan sangat mempengaruhi nilai-nilai yang dipercaya dan dianut oleh masyarakat kota. Berbeda dengan masyarakat desa, masyarakat kota yang lebih berpengetahuan akan lebih rasional, lebih kritis, lebih berani menyatakan perbedaan nilai, keinginan maupun prinsip dalam berelasi/bergaul dengan sesamanya. Dalam kondisi yang demikian memang akan ada fenomena masyarakat tidak percaya atau mengikuti begitu saja apa kata pemimpinnya, sepanjang ada kebebasan menyatakan pendapat atau mengekspresikan diri sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Perbedaan budaya, pola pikir, nilai-nilai yang diakui dan diyakini, serta berbagai faktor sosial ekonomi lain menyebabkan pengaruh pemimpin terhadap pengikutnya menjadi berbeda. Hal itu nampak dalam contoh pembandingan antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Struktur atau pola relasi dalam masyarakat atau komunitas juga menyebabkan pengaruh dan mekanisme kepemimpinan menjadi berbeda. Masyarakat komunis atau yang hidup dengan sistem relasi kediktatoran terpaksa mengikuti apa kata pemimpinnya, sehingga sepintas nampak pola kepemimpinannya akan sangat efektif. Hal ini nampak jelas pada jaman Hitler memimpin Jerman.
Ilustrasi diatas hanya dimaksudkan untuk memberi gambaran umum betapa pemimpin dan kepemimpinan sangat dipengaruhi dengan kondisi ideologi, sosial, budaya dan ekonomi dari masyarakatnya/anggota komunitasnya. Berdasarkan uraian di atas, pokok masalah yang akan dikaji dalam artikel ini adalah "bagaimanakah peran pemimpin dalam pembentukan perilaku dan budaya etis pada organisasi".
Pembahasan
A.Pemimpin dan Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan merupakan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang yang sangat luas dan memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pemasaran, pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap masyarakat timbul dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin adalah orang kebanyakan. Tanpa adanya seorang pemimpin maka tujuan organisasi yang dibuat tidak akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada.
Jika melihat perkembangan berbagai teori mengenai kepemimpinan yang ada, maka timbul suatu kesadaran bahwa perkembangan teori kepemimpinan telah berkembang sedemikian pesat sejalan dengan perkembangan kehidupan yang ada. Kepemimpinan tidak lagi dipandang sebagai penunjuk jalan namun sebagai partner yang bersama-sama dengan anggota lain berusaha mencapai tujuan.
Bermula dari pengertian kepemimpinan itu sendiri, sejak awal mula telah begitu banyak ahli mencoba mendefinisikannya dengan berbagai aspek dan pendekatannya. Istilah ini pun telah sangat dikenal dalam kehidupan sehari-hari karena menyangkut bidang yang sangat luas. Menurut Stogdill (1974) kepemimpinan dianggapnya sebagai proses atau tindakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Fiedler (1967) menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap sekelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan.
Dari dua definisi yang telah diajukan tersebut secara jelas menunjukkan bagaimana kepemimpinan tersebut diartikan, yaitu berkaitan usaha mempengaruhi dan menggunakan wewenang. Pengertian tersebut memberi suatu pemikiran bahwa pemimpin dipandang sebagai orang yang memiliki kecakapan lebih dalam usaha untuk memotivasi orang melakukan sesuatu seperti yang diharapkan pemimpin.
Salah satu teori mengenai kepemimpinan paling awal yaitu teori sifat memandang bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, yaitu : memiliki inteligensi yang tinggi, berkharisma, mampu membuat keputusan, antusias, memiliki kekuatan, berani, memiliki integritas, dan percaya diri. Banyak contoh mengenai pemimpin dengan karakteristik demikian, antara lain : Mahatma Gandhi, Martin Luther, Jr. Joan of Arc, dan sebagainya. Namun pada kenyataannya, tidak semua pemimpin memiliki kesemua karakeristik, ada diantara mereka yang hanya memiliki beberapa dari karakteristik tersebut namun telah mampu menggerakkan orang kebanyakan. Teori ini mendasarkan pemikiran bahwa pemimpin itu dilahirkan.
Pandangan teori yang lebih baru memperkenalkan kepemimpinan situasional, yaitu keberhasilan kepemimpinan melibatkan sesuatu yang lebih kompleks dari hanya sekedar sifat-sifat tertentu atau perilaku-perilaku yang diinginkan. Hubungan antara gaya kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan bergantung pada sejumlah kondisi, satu gaya kepemimpinan hanya tepat diterapkan pada satu kondisi atau situasi tertentu (Robbins, 2003). Jadi dengan demikian seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kepekaan membaca situasi sehingga ia tahu mana gaya yang paling tepat yang harus dia munculkan dalam situasi tersebut.
Pendapat Philip Crosby (1996) yang menyatakan bahwa berdasar pada pengalamannya pribadi selama bertahun-tahun kualitas kepemimpinan tidak hanya sekedar kemampuan untuk merespon secara efektif terhadap situasi tertentu, tetapi seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang diarahkan oleh kemutlakan tertentu (certain absolute). Dia melihat praktek kepemimpinan sebagai suatu penjabaran dari keyakinan pemimpin yaitu suatu inti kompetensi personal yang tinggi dari seorang pemimpin. Kualitas kepemimpinan tumbuh dan tercipta dari hubungan dengan orang-orang lain dalam organisasi dan bahwa pemimpin harus meluangkan waktu untuk menjaga hubungan tersebut. Penekanan pemimpin yang sesungguhnya adalah seseorang yang mengetahui bahwa keberhasilannya tidak tergantung pada "title-nya", tetapi pada pilihan yang mereka buat dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh untuk membuat keputusan secara bijaksana.
Berdasarkan uraian di atas, kepemimpinan terkandung pengertian bahwa memilih orang secara berhati-hati dan mengarahkan mereka untuk mencapai tujuan yang ada dengan jelas dalam pikiran, mendorong orang untuk berusaha mencapai tujuan, mengarahkan untuk peka terhadap segala yang terjadi serta mengambil sikap tertentu untuk mengantisipasinya, yang terakhir adalah bahwa pemimpin harus memiliki agenda yang jelas mengenai apa dan bagaimana kehendak mereka.
Kepemimpinan yang absolut menurut Crosby adalah kepemimpinan yang memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
1.Clear agenda, seorang pemimpin idealnya memiliki dua agenda: satu agenda bagi dirinya sendiri, dan yang kedua adalah agenda bagi organisasinya. Tujuan dari agenda organisasi adalah untuk menentukan kerangka kerja dari semua pekerjaan yang dilakukan; sedangkan personal agenda berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pimpinan pribadi sesuai dengan apa yang memang sungguh-sungguh ia inginkan bagi dirinya sendiri, dan hanya dia pribadi yang mengetahui. Dalam hal ini agenda tersebut harus dapat diungkapkan dalam kalimat yang dapat dengan jelas diterima dan tujuan yang ditentukan dapat diukur.
2.Personal Philosophy, seorang pemimpin hendaknya memiliki pilosofi pelaksanaan yang bersifat pragmatis dan dapat dipahami. Kerangka kerja dari pelaksanaan philosophi tersebut diciptakan dari belajar, inovasi dan keputusan.
3.Enduring Relationship, kehidupan organisasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah transaksi dan hubungan. Kunci untuk menjaga suatu hubungan adalah adanya penghargaan terhadap orang lain, memandang orang lain dengan cara yang positif dan keinginan untuk bekerja sama. Orang lain dalam hal ini tidak hanya terbatas pada anggota-anggota saja tetapi termasuk di dalamnya adalah customers, coworkers, maupun suppliers.
4.Worldly, mendunia (being worldly) berkaitan dengan budaya lain, tekhnologi, dan pengumpulan informasi. Hal ini berarti pula bagaimana pemimpin mampu memanfaatkan tekhnologi-tekhnologi baru, memahami pasar global, penghargaan terhadap orang lain.
Pendapat-pendapat di atas nampaknya telah menggambarkan peran apa yang sebaiknya dibawakan oleh pemimpin. Pada dasarnya kepemimpinan menuntut kapabilitas yang tinggi. Pemimpin dalam hal ini menentukan dimana bisnis hendak berlangsung, sasran-sasaran yang hendak dicapai baik intenal maupun eksternal, aset dan skill yang diperlukan, kesempatan dan resiko-resiko yang dihadapi. Pemimpin dalam hal ini adalah ahli strategi yang memastikan bahwa sasaran organisasi akan dapat tercapai. Dalam hal ini perubahan sosial, inovasi tekhnologi dan meningkatnya kompetisi merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pemimpin.
Pada akhirnya hanya pemimpin-pemimpin yang memiliki komitmen yang jelaslah yang mampu menyelamatkan organisasi dari situasi yang kompleks. Pendapat-pendapat memberi sumbangan yang jelas mengenai bagaimana pemimpin seharusnya bertindak dalam setiap situasi yang dihadapi. Di atas kesemuanya itu, sebagaimana Schein berpendapat bahwa setiap pemimpin hendaknya tidak melupakan akar budaya yang mereka miliki. Dengan menggali budaya yang dimiliki pemimpin dapat mengetahui kekuatan dan kelemahannya, sehingga mereka mengetahui sikap yang harus diambil, terutama jika situasi dan kondisi lingkungan sudah sedemikian krusial.
Teori kepemimpinan lain berfokus pada situasi atau konteks dari kepemimpinan. Mereka menekankan pada tugas yang memang perlu dilakukan dan lingkungan luar, termasuk sejarah, ekonomi, faktor-faktor budaya, dan karakteristik dari pengikutnya. Teori situasional tidak secara eksplisit mengatakan sesuatu tentang nilai-nilai, tetapi menduga bahwa dalam beberapa situasi seseorang dengan nilai-nilai moral khusus yang kuat harus muncul sebagai pemimpin. Contoh yang paling jelas adalah Nelson Mandela, dia adalah the right man at the right time.
Teori yang lain menggabungkan teori sifat-sifat atau ”The Great Man” dengan model situasional dan fokus pada interaksi antara pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin berperan membimbing organisasi di sepanjang jalurnya sehingga menyebabkan semua orang menjadi terlibat atau ikut serta. Di sini nilai-nilai memainkan peranan penting. Pertanyaan yang penting dalam studi tentang teori ini adalah: Apakah pemimpin lebih efektif ketika mereka bisa menjalin hubungan baik dengan pengikutnya, atau Apakah pemimpin lebih efektif ketika mereka menggunakan teknik tertentu untuk menyusun dan memerintahkan tugas-tugas. Apakah kepemimpinan itu soal hubungan moral atau teknik. Jawabannya adalah harus keduanya. Keduanya menekankan hubungan pemimpin dan pengikutnya dan pentingnya nilai-nilai dalam proses kepemimpinan. Hal penting dari pernyataan tersebut adalah pemimpin tidak hanya mempunyai nilai, mereka membantu pengikutnya membangun nilai-nilai mereka sendiri, yang akan sangat mendukung atau sesuai dengan nilai-nilai organisasi dan selanjutnya diharapkan menjadi prilaku dan budaya etis dalam organisasi.
B. Perilaku dan Budaya Etis dalam Organisasi
Apa yang menyusun perilaku etis yang aik belum pernah terdefinisikan dengan jelas. Namun, secara umum perilaku etis merupakan suatu reaksi dari sikap individu yang didalamnya harus menentukan tindakan yang benar dan yang salah. Penilaian mengenai yang benar dan yang salah didasarkan pada seperangkat keyakinan individu ataupun kelompok dalam suatu organisasi.
Tindakan manusia (human action) merupakan subyek utama pertimbangan etis. Perilaku atau aktivitas yang dilakukan oleh individu secara sadar dan sengaja memiliki tanggung jawab atas aktivitas yang dipilih. Perilaku dapat menimbulkan isu etika ketika perilaku tersebut bermanfaat atau merugikan pihak lain. Contoh: Pakai dasi warna merah? Mencontek pekerjaan orang lain? Berselingkuh? Dan sebagainya, merupakan suatu tindakan yang memerlukan pertimbangan etis dengan didasakan pada keyakinan tentang manfaat dan kerugian yang akan diperolehnya. Dalam suatu organisasi, seorang pemimpin harus menciptakan iklim yang diwarnai dengan perilaku-perilaku etis tersebut dan dikembangkan menjadi suatu budaya dalam organisasinya. Perilaku etis dalam suatu organisasi akan tercermin pada tiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggar hak orang lain (rights).
Masalah budaya organisasi (Organization Culture) akhir-akhir ini telah menjadi suatu tinjauan yang sangat menarik terlebih dalam kondisi kerja yang tidak menentu. Budaya organisasi kembali digali guna menggali kekuatan-kekuatan diri yang telah dimiliki namun cenderung diabaikan. Pada saat lingkungan eksternal dianggap kurang mampu mengatasi masalah yang timbul, maka orang kembali menengok kekuatan yang ada meskipun hal itu diyakini pula tidak dapat menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Namun dengan menggali budaya yang ada, maka diharapkan dapat menggali kekuatan yang dimiliki.
Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada di dalamnya dan mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigu (Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.
Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekatnya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Budaya oleh Robbins (2003) diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos dan praktek-praktek yang terus berlanjut; mengarahkan orang untuk berperilaku dan dalam upaya memecahkan masalah. Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan bahwa budaya pada hakekatnya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia yang mencakup pikiran, ucapan, tindakan, artifak-artifak dan bergantung pada kapasitas manusia untuk belajar dan mentarnsmisikannya bagi keberhasilan generasi yang ada. Dari pengertian ini dapat ditangkap bahwa budaya organisasi tidak bisa begitu saja ditangkap dan dilihat oleh orang luar, namun dapat dipahami dan dirasakan melalui perilaku-perilaku anggotanya serta nilai-nilai yang mereka anut.
Deal dan Kennedy menambahkan bahwa nilai pada hakekatnya merupakan inti dari suatu budaya. Nilai memberikan suatu sence of common direction bagi semua anggotanya dan petunjuk bagi perilaku sehari-harinya. Semakin kuat nilai-nilai itu diinternalisasi maka semakin kuat pula budaya etis tersebut mempengaruhi kehidupan mereka. Terkadang budaya itu sedemikian kuat dan kohesif, sehingga setiap orang tahu tujuan organisasi dan mereka mau bekerja untuk mencapainya.
Budaya pada hakekatnya merupakan pondasi bagi suatu organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, ia tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Ada sejumlah tahapan bila suatu perusahaan ingin membentuk budaya yang etis. Pertama-tama perusahaan harus melihat ke depan mengenai apa visinya, kemudian sistem nilai apa yang dimiliki, selanjutnya bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam organisasi itu sendiri, dan akhirnya melihat bagaimana sumber dayanya. Dalam hal ini Susanto (1997) memiliki pendapat bahwa budaya organisasi dapat dihidupkan pertama-tama melalui seleksi, yaitu memperoleh anggota yang setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang ada; manajemen atas, dalam hal ini manajemen atas mempunyai peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui tindakan-tindakannya; sosialisasi, budaya yang ada hendaknya terus-menerus disosialisasi baik anggota baru maupun anggota lama, prosesnya dapat berupa orientasi dan pelatihan melalui cerita-cerita tentang pendiri, ritual-rital yang ada, simbol-simbol dan sebagainya.
Lebih lanjut, Schein (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) menambahkan bahwa proses terjadinya budaya perusahaan (organisasi) melalui tiga cara, yaitu:
1)Para wirausahawan mengambil dan mempertahankan bawahan-bawahan (anggota-anggota) yang berpikir dan merasakan cara yang mereka lakukan.
2)Mengindoktrinasi dan mensosialisasikan cara berpikir dan cara merasakan mereka.
3)Perilaku mereka sendiri adalah model peran yang mendorong anggota untuk mengidentifikasi dan menginternalisasi keyakinan, nilai-nilai dan asumsi-asumsi mereka.
Dengan demikian dapat dipahami bagaimana pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model bagi terciptanya nilai-nilai yang ada. Sehingga budaya yang dimiliki oleh suatu organisasi memiliki peran yang besar dalam pencapaian tujuan organisasi tersebut.
C. Peran Pemimpin dalam Pembentukan Perilaku dan Budaya
Masyarakat Indonesia yang bersifat paternalistik memberikan dampak bahwa peran pemimpin adalah sebagai bapak yang mengayomi dan membina anak buahnya. Figur inilah yang pada akhirnya menjadi panutan bagi seluruh anggotanya. Istilah ing ngarso sung tulodho nampaknya tepat guna mengambarkan bagaimana pola hubungan antara pimpinan dengan anak buah. Efek yang timbul adalah jika panutan ini hilang atau kabur fungsinya, maka yang timbul adalah kegelisahan karena orang menjadi kehilangan pegangannya.
Sejak awal ditegaskan bagaimana peran pemimpin dalam pembentukan perilaku dan budaya etis yang kondusif dalam organisasinya. Konsep metaphor budaya yang diperkenalkan oleh Morgan (1986) memberi sumbangan pemikiran bagaimana melihat organisasi dari pandangan pembentukan budaya (the view of enactment). Pandangan ini menekankan bagaimana seseorang membentuk dan menyusun realitas sosial yang ada dan menekankan peran aktif seseorang dalam menciptakan dunia yang diinginkan. Pada akhirnya metaphor budaya ini mendasari suatu konsep bagaimana budaya membentuk realitas yang terus berkelanjutan dalam suatu organisasi dan memberi dasar bagi terbentuknya perilaku dan budaya etis anggota-anggotanya. Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena harus mensosialisasikan nilai-nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama.
Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Seorang pemimpin untuk memiliki agenda yang jelas yang menyangkut diri dan organisasi sehingga ia tahu kemana arah yang dituju. Agenda tersebut seyogyanya menyangkut tujuan jangka panjang dan strategi jangka pendek yang hendak dicapai dengan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika situasi menjadi rancu dan ambigu. Justru dalam kondisi inilah akan nampak bagaimana peran pemimpin tersebut. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas, wawasan yang luas, pandangan yang jernih terhadap situasi yang dihadapi, dengan demikian ia dapat membuat suatu keputusan yang didasari oleh keinginan untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Pemimpin yang dapat menjadi pemimpin adalah seseorang yang memiliki personal philosophy yang teguh. Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh situasi yang ada di sekitarnya. Meskipun lingkungannya berubah demikian cepat, namun ia tetap punya komitmen dan konsisten tanpa kehilangan arah yang hendak dituju. Personal philisophy ini tidak begitu saja dimiliki oleh seorang pemimpin, namun tumbuh melalui proses belajar, memiliki kemauan melakukan inovasi, dan paling akhir adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang didasari oleh kedua hal di atas. Hal-hal di atas hanya dapat dilaksanakan jika ia memiliki kesabaran dan konsisten terhadap prinsip-prinsip yang dimiliki serta memiliki motivasi intrinsik.
Pada dasarnya seorang pemimpin menurut Myers (dalam Brooks, 2000) adalah seseorang yang berfungsi: membantu mendefiniskan dan mencapai tujuan kelompok, dalam hal ini pemimpin membuat kebijakan dan merumuskan tujuan; memantapkan kelompok terutama ketika timbul ketegangan, dalam hal ini andil pemimpin sangat besar dalam upaya mengurangi adanya perbedaan dan mengajak kelompok bekerja sama; memberikan simbol identifikasi, dalam hal ini pemimpin bertindak sebagi simbol sehingga kelompok dapat dimantapkan dalam suatu kesatuan. Berdasar pada hal itu, maka cukup jelas bagaimana sebenarnya peran pemimpin dalam penciptaan stabilitas sistem sosial.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat vital antara budaya dan kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin justru akan dilihat dalam pengaruh mereka secara langsung terhadap budaya organisasi. Pada dasarnya pemimpin berperan dalam pembentukan budaya, selanjutnya budaya membantu membentuk anggota-anggotanya. Pembentukan budaya yang etis tersebut hanya akan dapat dilihat lebih dekat melalui perilaku-perilaku etis para anggota serta semangat yang mendorongnya.
D. Faktor-faktor Penentu Keberhasilan
Setiap organisasi bertanggungjawab untuk berusaha mengembangkan suatu perilaku etis dalam organisasi yang tercermin pada keadilan (fairness), bermanfaat (profitability) dan tidak melanggar hak orang lain (rights). Nilai-nilai budaya tersebut harus dimiliki pada setiap individu dan menjadi dasar etika dalam pengelolaan suatu organisasi atau suatu entitas. Keberhasilan pembentukan perilaku dan budaya etis dalam organisasi sangat erat hubungan dengan hal-hal atau faktor-faktor penentu keberhasilan yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Faktor-faktor tersebut meliputi: komitmen dari top manajemen, lingkungan organisasi yang kondusif, perekrutan dan promosi karyawan, pelatihan berkelanjutan, dan saluran komunikasi yang efektif.
1. Komitmen dari Top Manajemen
Pemimpin harus memberikan tauladan dan kemauan yang kuat untuk membentuk perilaku dan budaya etis yang kuat dalam organisasi yang dipimpinnya. Peranan moral/kepribadian yang baik dari seorang pimpinan dan komitmennya yang kuat sangat mendorong tegaknya suatu etika prilaku dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak dan suri tauladan bagi seluruh anggotanya. Pimpinan tidak bisa menginginkan suatu etika dan perilaku yang tinggi dari suatu organisasi sementara pimpinan itu sendiri tidak sungguh-sungguh untuk mewujudkannya.
Dalam suatu unit organisasi terutama unit organisasi yang besar, dari pimpinan sangat dibutuhkan dua hal yaitu komitmen moral dan keterbukaan dalam komunikasi. Kedua hal tersebut dapat mewujudkan harapan munculnya perilaku dan budaya etis yang kuat. Pimpinan harus memperlihatkan kepada anggotanya tentang adanya kesesuian antara kata dengan perbuatan dan tidak memberikan toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar kaedah-kaedah etika organisasi yaitu dengan diberikan sanksi hukuman yang jelas. Demikian pula sebaliknya terhadap anggota yang berprestasi dan bermoral baik diberikan penghargaan yang proporsional. Adanya pelaksanaan hukuman dan penghargaan yang konsisten akan memberikan nilai tambah bagi terciptanya suatu perilaku dan budaya etis organisasi yang kuat.
2. Lingkungan Organisasi yang Kondusif
Dukungan dari lingkungan kerja sangat diperlukan dalam pembentukan perilaku dan budaya etis oganisasi yang kuat. Rendahnya kepedulian dan rendahnya moral akan menyuburkan tindakan tidak etis yang pada akhirnya akan merusak bahkan dapat menghancurkan organisasi. Faktor-faktor ketidak pedulian tersebut antara lain disebabkan oleh :
a)Top manajemen kurang peduli tentang hukuman dan penghargaan.
b)Umpan balik negatif oleh pegawai atas penempatan kerja yang tidak adil.
c)Pimpinan lebih bersifat otoriter dan kurang menghargai partisipasi karyawan
d)Anggaran yang tidak rasional dan adanya pemaksaan pencapaian terget yang tidak rasional tersebut.
e)Kurangnya pelatihan pegawai dan kurangnya kesempatan promosi.
f)Tidak jelasnya komunikasi dan sistem pertanggungjawaban organisasi
Bagian Personalia suatu organisasi hendaknya membantu dalam menciptakan instrumen yang mengarahkan kepada adanya budaya organisasi dan lingkungan kerja yang mendukung. Berikut ini hal-hal yang dapat membantu terwujudnya lingkungan kerja yang positif, yaitu :
a)Memperkenalkan reward system yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dan hasil.
b)Memiliki kesempatan yang sama bagi seluruh anggota/karyawan
c)Adanya tim orientik, kerjasama dalam mengambil suatu keputusan
d)Program kompensasi administarasi yang profesional
e)Program pelatihan yang profesional dan proritas dalam pembinaan karir.
Pemberdayaan karyawan dalam mengembangkan lingkungan kerja yang positif sangat membantu dalam pembentukan perilaku dan budaya etis organisasi. Mereka dapat memberikan pandangan-pandangan dalam pengembangan dan memperbarui etika dan aturan perilaku (code of conduc) yang berlaku dalam suatu organisasi, Karyawan juga memperlihatkan kontribusinya yang signifikan dalam berprilaku yang sesuai dengan code of conduct tersebut.
Pembentukan perilaku dan budaya etis organisasi disusun dari prinsip-prinsip yang dapat diterima dan seharusnya bukan hanya aturan yang keras atau kaku yang tidak dapat untuk menjawab atau diterapkan pada semua unit dalam organisasi. Namun perlu dilakukan observasi mengenai prinsip-prinsip yang dipakai agar dapat dipahami dan dapat mencerminkan sifat-sifat profesionalitas, kejujuran, integritas, dan loyalitas yang tinggi dalam membentuk organisasi yang bermoral. Disamping itu, organisasi yang memiliki otoritas harus berniat membantu dengan sikap mental yang kokoh dan konsekuen serta memiliki kemampuan untuk menghilangkan timbulnya perilaku tidak etis, melalui proses penegakan kedisiplinan dan dengan aturan perlaku yang ada, serta bebas dari pengaruh pertentangan kepentingan (conflict of interest).
3. Perekrutan dan Promosi Karyawan
Setiap anggota/karyawan memiliki seperangkat nilai-nilai kejujuran, integritas dan kode etik personal. Oleh karena itu, suatu organisasi atau entitas haus dapat memastikan berbagai kebijakan-kebijakan yang efektif yang dapat meminimalkan kemungkinan adanya merekrut atau mempromosikan pegawai yang memiliki tingkat kejujuran yang rendah , terutama untuk posisi yang memerlukan tingkat kepercayaaan.
4. Pelatihan yang Berkelanjutan
Karyawan baru sebaiknya diberi pelatihan tentang perilaku dan budaya etis serta nilai-nilai organisasi pada saat perekrutan. Komitmen untuk pendidikan yang berkelanjutan dan kesadaran bagi anggota atas permasalahan yang berkaitan dengan etika harus disusun untuk kepentingan organisasi dan relevan dengan keinginan anggota/karyawan organisasi. Sebagai tambahan dalam memberikan pelatihan pada saat perekrutan, para anggota sebaiknya memperoleh pelatihan secara periodik. Dengan demikian, pelatihan ini sebaiknya secara ekplisit dapat mengadopsi harapan-harapan dari seluruh anggota.
5. Saluran Komunikasi Yang Efektif
Manajemen membutuhkan informasi mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban pekerjaan. Masing-masing pegawai harus dapat menginformasikan tentang pelaksanaan kode etik tersebut mulai dari pemegang posisi tertinggi sampai yang terendah. Permintaan konfirmasi harus dilakukan bukan hanya formalitas saja tetapi laporan tersebut betul-betul dapat digunakan sebagai pencegahan dan pendekteksian bila terjadinya perbuatan tidak etis. Pegawai harus diberi kesempatan untuk melaporkan perbuatan tidak baik yang dilakukan pegawai lain, manajer atau kliennya. Sistem ini harus menjamin dan menjaga kerahasiaan pegawai.
Kesimpulan
Tindakan manusia (human action) merupakan subyek utama dari pertimbangan etis. Perilaku etis merupakan suatu reaksi dari sikap individu yang didalamnya harus menentukan tindakan yang benar dan yang salah. Penilaian mengenai benar dan salah didasarkan pada seperangkat keyakinan individu ataupun kelompok dalam suatu organisasi. Dalam suatu organisasi, seorang pemimpin harus menciptakan iklim yang diwarnai dengan perilaku-perilaku etis yang tercermin pada tiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggar hak orang lain (rights).
Pemimpin memiliki peran yang sangat besar dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Pembentukan perilaku dan budaya yang etis bukanlah proses yang pasif. Namun ia melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Selain itu, pemimpin harus memberikan tauladan berdasarkan perilaku-perilaku maupun keputusan-keputusan yang diambil secara bijaksana. Peran moral/kepribadian tersebut merupakan pondasi bagi tegaknya etika prilaku dan budaya etis dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak serta suri tauladan bagi seluruh anggotanya.
Daftar Pustaka
Brooks, L.J. 2000, Business and Professional Ethics for Accountants, South Western College Publishing.
Crosby, P. 1996. The Absolutes of Leadership. San Francisco. Jossey-Bass Publisher.
Fiedler, F.E. 1967. A Theory f Leadership Effectiveness. New York. McGraw-Hill.
Kennedy, D.L. 1996. Understanding Personal Power. Diambil dari Dynamics of Leadership. Bombay. Jaico Publ. House.
Robbins, Stephen.P. 2003. Organizational Behavior. Tenth Edition. New Jersey. By Person Education. Inc.
Schultz, D.P. 1982. Psychology in Industry Today. New York. MacMillan Publ. Co.
Suseno, F.M. 1991. Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta. PT Gramedia.
Stogdill, R.M. 1974. Handbook of Leadership. A Survey of Theory and Research. New York. The Free Press .
PENGARUH KEADILAN ORGANISASIONAL TERHADAP INTENSITAS KEMANGKIRAN PEGAWAI DI PEMERINTAH KOTA METRO
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Penelitian tentang keadilan organisasional mengalami perkembangan yang sangat pesat pada beberapa tahun terakhir. Persepsi keadilan distributif, prosedural, dan interaksional yang dipandang sebagai komponen utama keadilan organisasional dihubungkan dengan beraneka ragam hasil dari suatu pekerjaan, seperti pelaksanaan kegiatan, perilaku suatu kelompok dan sikap kerja (Cropanzano et. al, 2000).
Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa perlakuan adil berhubungan erat dengan perilaku kerja dan pencapaian kinerja yang lebih tinggi (Konovsky, 2003). Sebagai konsekuensi dari hal di atas, banyak peneliti pada bidang akuntansi keperilakukan melakukan pengujian kembali tentang konsep keadilan dalam organisasi (Greenberg 1990 dalam Cropanzano et. al, 2000). Secara garis besar para pegawai akan mengevaluasi keadilan dalam tiga klasifikasi peristiwa yaitu hasil yang mereka terima dari organisasi (keadilan distribusi), kebijakan formal atau proses dengan mana suatu pencapaian dialokasikan (keadilan prosedural), dan perlakuan yang diambil oleh pengambil keputusan antar personal dalam organisasi (keadilan interaksional), Cropanzano et. al (2000).
Para peneliti ilmu-ilmu sosialpun sudah lama mengakui pentingnya pemahaman tentang keadilan organisasional sebagai syarat utama memahami efektifnya fungsi organisasi dan kinerja pegawai yang mereka pekerjakan (Greenberg, 1990). Peneliti yang lain menegaskan lagi bahwa persepsi keadilan sudah lama telah menjadi variabel explanatory dalam penelitian organisasi antara lain (Lam, Schaubroeck, dan Aryee, 2002). Keadilan organisasional menggambarkan persepsi individu atau kelompok tentang kewajaran perilaku yang mereka terima dari sebuah organisasi dan reaksi perilaku mereka terhadap persepsi tersebut.
Secara spesifik, Parker dan Kohlmeyer (2005) mendefinisikan keadilan organisasional sebagai kondisi pekerjaan yang mengarahkan individu pada suatu keyakinan bahwa mereka diperlakukan secara adil atau tidak adil oleh organisasinya. Lebih jauh dijelaskan bahwa keadilan organisasi merupakan motivator penting dalam suatu lingkungan pekerjaan. Ketika individu merasakan suatu ketidakadilan, moral mereka akan turun, mereka kemungkinan besar akan meninggalkan pekerjaannya, dan bahkan mungkin membalas dendam terhadap organisasinya.
Walaupun banyak studi yang telah dilakukan dalam bidang psikologi yang menunjukkan pentingnya pemahaman tentang keadilan organisasi, namun belum banyak studi yang membahas tentang keadilan organisasi yang terkait dengan literatur akuntansi. Pengecualian yang dapat dicatat misalnya: Siegel, Reinstein, dan Miller (2001), yang menginvestigasi hubungan antara keadilan organisasi dan program pendampingan (mentoring), dan selanjutnya Parker dan Kohlmeyer (2005), yang menemukan bahwa persepsi keadilan yang diproksikan dalam diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) mempengaruhi tingkat intensitas kemangkiran melalui intermediasi komitmen organisasional (organizational commitment) dan kepuasan (job satisfaction). Parker dan Kohlmeyer (2005) menjelaskan keadilan organisasional meliputi persepsi anggota organisasi tentang kondisi keadilan yang mereka alami dalam organisasi, secara khusus tentang rasa keadilan yang terkait dengan alokasi penghargaan organisasi seperti gaji dan promosi. Rasa keadilan akan muncul ketika otoritas organisasi konsisten dan tidak bias dalam pengambilan keputusan organisasi terutama terkait dengan alokasi gaji dan promosi. Aturan organisasi yang tidak konsisten dan bias terhadap individu adalah suatu tindakan diskriminasi, sehingga muncul rasa diskriminasi (perceived discrimination) oleh individu.
Untuk kasus di Indonesia, fenomena intensitas kemangkiran pegawai pemerintah daerah disadari benar, baik oleh akademisi maupun praktisi. Yunus (1992) dalam Setiawan (2005) menyatakan bahwa rasa ketidakadilan dalam kebijakan mendorong tingginya intensitas kemangkiran pegawai pemerintah daerah. Selain itu, kemangkiran pegawai juga didorong oleh kurangnya pengawasan dari pimpinan dan rendahnya komitmen pegawai pada organisasi yang dimiliki. Berkaitan dengan fenomena dan realita di atas, beberapa peneliti telah melakukan pengujian untuk meneliti faktor-faktor yang mendorong kemangkiran pegawai, antara lain Suwandi dan Indriantoro (1999); Ratnawati dan Kusuma (2002)
Perasaan diskriminasi yang dialami seorang pegawai dalam suatu organisasi termasuk di pemerintah daerah Kota Metro dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik pada tingkat individu maupun pada organisasi secara keseluruhan. Salah satunya adalah munculnya intensitas kemangkiran pegawai. Dalam beberapa kasus, menunjukkan bahwa kemangkiran pegawai pemerintah daerah relatif cukup tinggi. Selain dampak perilaku, tingginya tingkat kemangkiran tersebut akan semakin banyak menimbulkan berbagai potensi biaya, baik biaya pelatihan pegawai maupun tingkat kinerja yang mesti dikorbankan. Bahkan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari tim gabungan Inspektorat serta Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan Daerah (BKPPD) Kota Metro bahwa disiplin pegawai pemerintah di Kota Metro tidak juga menunjukkan peningkatan meskipun sudah dibentuk tim monitoring penegakan disiplin pegawai. Terbukti, inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan menemukan puluhan pegawai dari berbagai satuan kerja yang mangkir.
Menyadari pentingnya pemahaman keadilan organisasional (organizational justice) sebagai landasan pemahaman tentang efektivitas organisasi dan perilaku pegawai, mendorong peneliti untuk menguji pengaruh keadilan organisasional terhadap kepercayaan pada pimpinan dan komitmen organisasi. Pengaruh tersebut, selanjutnya mungkin berpengaruh terhadap intensitas kemangkiran pegawai pemerintah daerah di Kota Metro.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.Apakah keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) berpengaruh negatif terhadap kepercayaan pada pimpinan.
2.Apakah keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi.
3.Apakah keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) berpengaruh positif terhadap intensitas kemangkiran pegawai.
4.Apakah kepercayaan pada pimpinan perpengaruh negatif terhadap intensitas kemangkiran pegawai.
5.Apakah komitmen organisasi perpengaruh negatif terhadap intensitas kemangkiran pegawai.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian masalah di atas, tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.Menginvestigasi dan memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh keadilan organisasional terhadap kepercayaan pada pimpinan, komitmen organisasi dan intensitas kemangkiran pegawai pemerintah Kota Metro.
2.Menginvestigasi dan memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh kepercayaan pada pimpinan dan komitmen organisasional terhadap intensitas kemangkiran pegawai pemerintah Kota Metro.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa kontribusi teoritis bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pengaruh keadilan organisasional pada sikap pegawai berupa kepercayaan pada pimpinan, komitmen organisasi dan intensitas kemangkiran pegawai berdasarkan pengujian empiris di bidang akuntansi keprilakuan. Selain itu, dapat meningkatkan pemahaman dan memprediksi model pengaruh antar variabel tersebut secara terpadu (integrated model).
Hasil penelitian juga memberikan manfaat praktis berupa saran bagi pimpinan pemerintah daerah untuk memahami berbagai aspek perilaku terkait dengan intensitas kemangkiran pegawai. Dengan menelusuri faktor-faktor penyebab timbulnya kemangkiran dan selanjutnya secara potensial dapat memberikan kegunaan bagi perancangan karir dan promosi jabatan.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian tentang pengaruh keadilan organisasional terhadap intensitas kemangkiran pegawai ini merupakan salah satu penelitian yang dilakukan secara Cross Section. Penelitian ditujukan untuk menguji hipotesis, sehingga dapat dikategorikan sebagai metode penelitian kuantitatif (quantitative research).
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian meliputi seluruh pegawai struktural dilingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di pemerintahan Kota Metro. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) merupakan perangkat daerah pada pemerintahan daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang, pada penelitian ini meliputi dinas daerah, dan lembaga teknis daerah yaitu badan daerah dan kantor.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu metode penentuan sampel dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Kriteria sampel penelitian ini yaitu: (1) pegawai struktural SKPD dan serendah-rendahnya eselon 3; (2) menduduki jabatan struktural minimal satu tahun. Penentuan jumlah sampel didasarkan pada ukuran sampel yang disyaratkan dengan analisis data menggunakan Model Persamaan Struktural (SEM). Menurut Ghozali (2008) jumlah sampel yang diperlukan dalam estimasi likelihood dengan SEM berkisar 100 sampai 200 sampel.
Pemerintah Kota Metro terdiri dari 27 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sehingga untuk mendapatkan sampel yang diinginkan dikirimkan kuesioner sebanyak 150 kuesioner dengan ketentuan masing-masing 6 (enam) kuesioner. Namun, untuk badan daerah hanya 5 (lima) kuesioner hal ini disesuaikan dengan persyaratan penentuan responden dengan metode purposive sampling sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Definisi Operasional Variabel
Variabel penelitian ini terdiri dari:
1.Variabel eksogen penelitian ini yaitu keadilan organisasional yang mempengaruhi nilai variabel lain dalam model. Keadilan organisasional dalam hal ini diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) oleh pegawai Pemerintah Kota Metro. Diskriminasi yang dirasakan merupakan persepsi pegawai mengenai adanya potensi bias dalam proses pembuatan keputusan yang meliputi penghargaan organisasi khususnya terkait gaji/tunjangan dan promosi jabatan.
2.Variabel endogen yaitu kepercayaan pada pimpinan, komitmen organisasi dan intensitas kemangkiran pegawai yang dipengaruhi oleh variabel eksogen dalam model, baik pengaruh secara langsung maupun tidak langsung.
Kepercayaan kepada pimpinan merupakan persepsi bahwa pimpinan berniat baik dan relevan terhadap karir dan status pegawai. Komitmen organisasi merupakan kekuatan yang bersifat relatif dan individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Sedangkan Intesitas kemangkiran pegawai menunjukkan adanya niat pegawai pemerintah Kota Metro untuk meninggalkan tugas/pekerjaan di tempat kerjanya.
Masing-masing variabel penelitian di atas diukur menggunakan skala Likert yaitu: 1 sampai dengan 5, dengan ketentuan sebagai berikut:
1 = Sangat tidak setuju
2 = Tidak setuju
3 = Netral
4 = Setuju
5 = Sangat setuju.
Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dikirimkan kepada responden. Kuesioner yaitu pengumpulan data melalui daftar pertanyaan/pernyataan tertulis yang disusun untuk mendapatkan informasi atau keterangan dari beberapa orang. Pendistribusian kuesioner penelitian ini dilakukan dengan cara mail survey, dimana kuesioner disampaikan secara langsung kepada masing-masing kepala SKPD untuk didistribusikan kepada responden sesuai dengan persyaratan responden penelitian. Selanjutnya, kuesioner yang telah diisi/dijawab akan diambil oleh peneliti sesuai waktu yang ditentukan.
Teknik Analisis Data
Uji Non Respon Bias
Pengujian non response bias dilakukan untuk mengetahui perbedaan karakteristik jawaban dari responden yang mengembalikan kuesioner yang sesuai dengan batas waktu pengembalian dengan responden yang terlambat mengembalikan kuesioner. Pengujian non response bias dilakukan dengan uji independen sampel t-test. Apabila nilai t hitung menunjukkan tingkat signifikansi di atas 0,05 dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor jawaban pada dua kelompok responden, sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok berasal dari populasi yang sama.
Statistik Deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan dalam penelitian ini untuk mengetahui gambaran secara umum mengenai data responden penelitian. Menurut Ghozali (2008), statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum dan minimum data yang menggambarkan profil responden.
Analisis Structural Equation Modeling (SEM)
Semua hipotesis penelitian ini akan dianalisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan software AMOS versi 16.0. Berdasarkan kajian teoritis yang ada dapat dibuat gambar diagram jalur hubungan kausalitas antar konstruk beserta indikatornya sebagai berikut:
Penelitian ini akan menguji hubungan kausalitas sehingga menggunakan matriks varian dan kovarian (Hair et al. 1998). Teknik estimasi yang dipergunakan adalah Maximum Likelihood Estimation. Estimasi structural equation model dilakukan dengan analisis full model untuk melihat kesesuaian model dan hubungan kausalitas yang dibangun dalam model uji.
1.Estimasi model pengukuran
Untuk menguji unidimensional dari konstruk eksogen dan endogen digunakan teknik confirmatory factor analysis. Jika probabilitas yang dihasilkan signifikan berarti hipotesis yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara matriks kovarians sampel dan matriks kovarians populasi yang diestimasikan tidak dapat ditolak atau hipotesis nol diterima sehingga digunakan uji-t terhadap regression weight. Jika critical ratio (CR) > 2,0 menunjukkan variabel-variabel tersebut secara signifikan merupakan dimensi dari variabel laten yang dibentuk (Ferdinand 2006).
2.Model persamaan struktur
Estimasi terhadap model persamaan struktur dilakukan dengan menganalisis model untuk melihat kesesuaian model dan hubungan kausalitas yang dibangun dengan model yang diuji. Jika tingkat signifikansi terhadap Chi- square (X) adalah p > 0,05, maka model tersebut sesuai dengan data yang tersedia.
Sedangkan kesesuaian model penelitian ini dievaluasi dengan telaah berbagai kriteria goodness-of-fit. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi asumsi-asumsi SEM, sebagai berikut:
a.Ukuran Sampel
Penentuan sampel minimum dalam penelitian ini menggunakan teknik Maximum Likelihood Estimation. Menurut Ferdinand (2006) ukuran sampel yang harus dipenuhi dalam permodelan teknik Maximum Likelihood Estimation ini adalah minimum berjumlah 100 sampel.
b.Evaluasi terpenuhinya asumsi normalitas data
Normalitas univariat dan multivariat dievaluasi dengan menggunakan tabel yang dihasilkan dari penggunaan program AMOS. Dengan menggunakan kriteria nilai kritis (critical ratio) sebesar 1,96 pada tingkat signifikansi 0,05. Jika critical ratio dari masing-masing variabel lebih besar atau sama dengan 1,96 maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan mempunyai sebaran yang tidak normal.
c.Outliers
Outliers adalah observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim baik secara univariat maupun multivariat yang muncul kaarena kombinasi karakteristik unik yang dimilikinya dan terlihat sangat jauh berbeda dari observasi-observasi lainnya.
d.Multicolinearity dan Singularity
Determinan dari matriks kovarians sampel lebih besar dari nol dapat disimpulkan tidak terjadi Multicolinearity dan Singularity, maka data layak digunakan.
e.Evaluasi indeks goodness-of- fit
Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk melihat suatu model diterima atau ditolak, yaitu:
1)Significance Probability (p) untuk menguji tingkat signifikansi model.
2)The Root Mean Square Error Of Approximation (RMSEA) merupakan sebuah indeks yang dapat digunakan untuk mengkompensasi Chi-square statistic dalam sampel yang besar. Nilai yang dapat diterima berkisar antara 0,05-0,08.
3)Goodness-of- fit Index (GFI). Kriteria yang digunakan antara 0 (poor fit) sampai dengan 1 (better fit). Nilai yang mendekati 1 menunjukkan tingkat kesesuaian yang semakin baik.
4)Adjusted Goodness-of Fit Index (AGFI). AGFI merupakan perluasan dari GFI dengan nilai yang disesuaikan dengan rasio derajat kebebasan (degree of freedom). AGFI yang diterima jika nilainya lebih besar atau sama dengan 0,9.
5)Tucker Lewis Index (TLI) yang membandingkan model yang diuji dengan baseline model. Nilai yang direkomendasikan sama atau > 0,95 dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan very good fit.
Sebuah model dinyatakan layak jika masing-masing indeks tersebut mempunyai cut of value seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut:
TABEL 4.1.
GOODNESS OF FIT INDECES
Chi-square χ2 Diharapkan kecil
Significance Probability ≥ 0.05
RMSEA ≤ 0.08
GFI ≥ 0.90
AGFI ≥ 0.90
TLI ≥ 0.95
Sumber: Ferdinand (2006)
Langkah terakhir dalam analisis SEM adalah menginterpretasikan dan memodifikasi bagi model-model yang tidak memenuhi syarat pengujian yang dilakukan. Untuk modifikasi sebuah model perlu mengamati standardized residual yang dihasilkan oleh model tersebut. Model yang baik mempunyai standardized residual varian yang kecil (Ferdinand, 2006). Batas keamanan untuk jumlah residual adalah 0,05. Bila jumlah residual lebih besar dari 0,05 dari semua residual kovarians yang dihasilkan oleh model, maka sebuah model perlu dimodifikasi. Selanjunya, Ferdinand (2006) menyatakan apabila nilai residual yang dihasilkan ≥ 1,96 dan diinterpretasikan sebagai signifikan secara statistik pada tingkat 0,05 menunjukkan adanya prediction error yang substansial untuk sepasang indikator.
Pengujian Hipotesis
Untuk menguji hipotesis mengenai kausalitas yang dikembangkan dalam model ini, perlu diuji hipotesis nol yang menyatakan bahwa koefisien regresi antara hubungan adalah sama dengan nol melalui pengamatan terhadap nilai regression weight pada kolom critical ratio (CR) yang dihasilkan oleh program AMOS. Nilai CR dibandingkan dengan nilai kritisnya yaitu ± 1,96 dengan tingkat signifikansi 0,05. Apabila nilai CR > ± 1,96 dengan tingkat signifikansi < 0,05 maka varibel eksogen berpengaruh terhadap variabel endogen. Dan apabila nilai CR < ± 1,96 dengan tingkat signifikansi > 0,05 maka varibel eksogen tidak berpengaruh terhadap variabel endogen.
Sedangkan Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung model yang dianalisis dapat diidentifikasi melalui path coefficients yang dihasilkan oleh program Amos. Dari path coefficients tersebut perlu dipisahkan antara pengaruh total standar dari pengaruh langsung standar. Apabila pengaruh total standar sama dengan pengaruh langsung standar menunjukkan tidak terdapat pengaruh lain yang dapat mempengaruhi intensitas kemangkiran pegawai. Sebaliknya, jika pengaruh total standar tidak sama dengan pengaruh langsung standar maka dapat diketahui besarnya pengaruh masing-masing dari coefficient tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan berpengruh negatif secara signifikan terhadap kepercayaan pada pimpinan. Temuan penelitian ini konsisten dengan beberapa hasil penelitian, seperti Hopwood (1972); dan Lau et al. (2008) yang menemukan bahwa keadilan organisasional cenderung menambah kepercayaan bawahan kepada pimpinan. Demikian sebaliknya, diskriminasi yang dirasakan dapat menciptakan rendahnya kepercayaan pegawai pada pimpinan.
2.Keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap komitmen organisasi. Temuan penelitian ini konsisten dengan beberapa hasil penelitian, seperti Parker dan Kohlmeyer (2005) yang menyatakan secara keseluruhan diskriminasi yang dirasakan secara negatif mempengaruhi komitmen organisasi.
3.Keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap komitmen organisasi. Hasil Penelitian ini konsisten dengan Parker dan Kohlmeyer (2005), yang menemukan bahwa persepsi keadilan yang diproksikan dalam diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) mempengaruhi tingkat intensitas kemangkiran pegawai.
4.Kepercayaan pada pimpinan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap intensitas kemangkiran pegawai. Dengan demikian, kepercayaan pada pimpinan tidak dapat menjadi variabel intermediasi antara pengaruh keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan terhadap intensitas kemangkiran pegawai.
5.Komitmen organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap intensitas kemangkiran pegawai di Pemerintah Daerah Kota Metro. Dengan demikian, komitmen organisasi tidak dapat menjadi variabel intermediasi antara pengaruh keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan terhadap intensitas kemangkiran pegawai. Oleh karena itu, penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian sebelumnya seperti Parker dan Kohlmeyer (2005) yang menemukan bahwa komitmen organisasi berpengaruh negatif secara signifikan terhadap intensitas kemangkiran pegawai.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang diajukan sebagai berikut: Pertama, perlunya pimpinan organisasi pemerintah daerah untuk memperhatikan keadilan organisasional karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap kepercayaan pada pimpinan, dapat meningkatkan komitmen organisasi serta mengurangi tingkat intensitas kemangkiran pegawai. Kedua, keadilan organisasional meliputi: keadilan prosedural, keadila distributive dan keadilan interaksional; yang ciptakan dalam beberapa hal, seperti: konsistensi dari waktu ke waktu, akurasi data, adanya umpan balik dari pegawai, dan mendasarkan pada aspek moralitas.
Latar Belakang Masalah
Penelitian tentang keadilan organisasional mengalami perkembangan yang sangat pesat pada beberapa tahun terakhir. Persepsi keadilan distributif, prosedural, dan interaksional yang dipandang sebagai komponen utama keadilan organisasional dihubungkan dengan beraneka ragam hasil dari suatu pekerjaan, seperti pelaksanaan kegiatan, perilaku suatu kelompok dan sikap kerja (Cropanzano et. al, 2000).
Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa perlakuan adil berhubungan erat dengan perilaku kerja dan pencapaian kinerja yang lebih tinggi (Konovsky, 2003). Sebagai konsekuensi dari hal di atas, banyak peneliti pada bidang akuntansi keperilakukan melakukan pengujian kembali tentang konsep keadilan dalam organisasi (Greenberg 1990 dalam Cropanzano et. al, 2000). Secara garis besar para pegawai akan mengevaluasi keadilan dalam tiga klasifikasi peristiwa yaitu hasil yang mereka terima dari organisasi (keadilan distribusi), kebijakan formal atau proses dengan mana suatu pencapaian dialokasikan (keadilan prosedural), dan perlakuan yang diambil oleh pengambil keputusan antar personal dalam organisasi (keadilan interaksional), Cropanzano et. al (2000).
Para peneliti ilmu-ilmu sosialpun sudah lama mengakui pentingnya pemahaman tentang keadilan organisasional sebagai syarat utama memahami efektifnya fungsi organisasi dan kinerja pegawai yang mereka pekerjakan (Greenberg, 1990). Peneliti yang lain menegaskan lagi bahwa persepsi keadilan sudah lama telah menjadi variabel explanatory dalam penelitian organisasi antara lain (Lam, Schaubroeck, dan Aryee, 2002). Keadilan organisasional menggambarkan persepsi individu atau kelompok tentang kewajaran perilaku yang mereka terima dari sebuah organisasi dan reaksi perilaku mereka terhadap persepsi tersebut.
Secara spesifik, Parker dan Kohlmeyer (2005) mendefinisikan keadilan organisasional sebagai kondisi pekerjaan yang mengarahkan individu pada suatu keyakinan bahwa mereka diperlakukan secara adil atau tidak adil oleh organisasinya. Lebih jauh dijelaskan bahwa keadilan organisasi merupakan motivator penting dalam suatu lingkungan pekerjaan. Ketika individu merasakan suatu ketidakadilan, moral mereka akan turun, mereka kemungkinan besar akan meninggalkan pekerjaannya, dan bahkan mungkin membalas dendam terhadap organisasinya.
Walaupun banyak studi yang telah dilakukan dalam bidang psikologi yang menunjukkan pentingnya pemahaman tentang keadilan organisasi, namun belum banyak studi yang membahas tentang keadilan organisasi yang terkait dengan literatur akuntansi. Pengecualian yang dapat dicatat misalnya: Siegel, Reinstein, dan Miller (2001), yang menginvestigasi hubungan antara keadilan organisasi dan program pendampingan (mentoring), dan selanjutnya Parker dan Kohlmeyer (2005), yang menemukan bahwa persepsi keadilan yang diproksikan dalam diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) mempengaruhi tingkat intensitas kemangkiran melalui intermediasi komitmen organisasional (organizational commitment) dan kepuasan (job satisfaction). Parker dan Kohlmeyer (2005) menjelaskan keadilan organisasional meliputi persepsi anggota organisasi tentang kondisi keadilan yang mereka alami dalam organisasi, secara khusus tentang rasa keadilan yang terkait dengan alokasi penghargaan organisasi seperti gaji dan promosi. Rasa keadilan akan muncul ketika otoritas organisasi konsisten dan tidak bias dalam pengambilan keputusan organisasi terutama terkait dengan alokasi gaji dan promosi. Aturan organisasi yang tidak konsisten dan bias terhadap individu adalah suatu tindakan diskriminasi, sehingga muncul rasa diskriminasi (perceived discrimination) oleh individu.
Untuk kasus di Indonesia, fenomena intensitas kemangkiran pegawai pemerintah daerah disadari benar, baik oleh akademisi maupun praktisi. Yunus (1992) dalam Setiawan (2005) menyatakan bahwa rasa ketidakadilan dalam kebijakan mendorong tingginya intensitas kemangkiran pegawai pemerintah daerah. Selain itu, kemangkiran pegawai juga didorong oleh kurangnya pengawasan dari pimpinan dan rendahnya komitmen pegawai pada organisasi yang dimiliki. Berkaitan dengan fenomena dan realita di atas, beberapa peneliti telah melakukan pengujian untuk meneliti faktor-faktor yang mendorong kemangkiran pegawai, antara lain Suwandi dan Indriantoro (1999); Ratnawati dan Kusuma (2002)
Perasaan diskriminasi yang dialami seorang pegawai dalam suatu organisasi termasuk di pemerintah daerah Kota Metro dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik pada tingkat individu maupun pada organisasi secara keseluruhan. Salah satunya adalah munculnya intensitas kemangkiran pegawai. Dalam beberapa kasus, menunjukkan bahwa kemangkiran pegawai pemerintah daerah relatif cukup tinggi. Selain dampak perilaku, tingginya tingkat kemangkiran tersebut akan semakin banyak menimbulkan berbagai potensi biaya, baik biaya pelatihan pegawai maupun tingkat kinerja yang mesti dikorbankan. Bahkan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari tim gabungan Inspektorat serta Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan Daerah (BKPPD) Kota Metro bahwa disiplin pegawai pemerintah di Kota Metro tidak juga menunjukkan peningkatan meskipun sudah dibentuk tim monitoring penegakan disiplin pegawai. Terbukti, inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan menemukan puluhan pegawai dari berbagai satuan kerja yang mangkir.
Menyadari pentingnya pemahaman keadilan organisasional (organizational justice) sebagai landasan pemahaman tentang efektivitas organisasi dan perilaku pegawai, mendorong peneliti untuk menguji pengaruh keadilan organisasional terhadap kepercayaan pada pimpinan dan komitmen organisasi. Pengaruh tersebut, selanjutnya mungkin berpengaruh terhadap intensitas kemangkiran pegawai pemerintah daerah di Kota Metro.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.Apakah keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) berpengaruh negatif terhadap kepercayaan pada pimpinan.
2.Apakah keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi.
3.Apakah keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) berpengaruh positif terhadap intensitas kemangkiran pegawai.
4.Apakah kepercayaan pada pimpinan perpengaruh negatif terhadap intensitas kemangkiran pegawai.
5.Apakah komitmen organisasi perpengaruh negatif terhadap intensitas kemangkiran pegawai.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian masalah di atas, tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.Menginvestigasi dan memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh keadilan organisasional terhadap kepercayaan pada pimpinan, komitmen organisasi dan intensitas kemangkiran pegawai pemerintah Kota Metro.
2.Menginvestigasi dan memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh kepercayaan pada pimpinan dan komitmen organisasional terhadap intensitas kemangkiran pegawai pemerintah Kota Metro.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa kontribusi teoritis bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pengaruh keadilan organisasional pada sikap pegawai berupa kepercayaan pada pimpinan, komitmen organisasi dan intensitas kemangkiran pegawai berdasarkan pengujian empiris di bidang akuntansi keprilakuan. Selain itu, dapat meningkatkan pemahaman dan memprediksi model pengaruh antar variabel tersebut secara terpadu (integrated model).
Hasil penelitian juga memberikan manfaat praktis berupa saran bagi pimpinan pemerintah daerah untuk memahami berbagai aspek perilaku terkait dengan intensitas kemangkiran pegawai. Dengan menelusuri faktor-faktor penyebab timbulnya kemangkiran dan selanjutnya secara potensial dapat memberikan kegunaan bagi perancangan karir dan promosi jabatan.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian tentang pengaruh keadilan organisasional terhadap intensitas kemangkiran pegawai ini merupakan salah satu penelitian yang dilakukan secara Cross Section. Penelitian ditujukan untuk menguji hipotesis, sehingga dapat dikategorikan sebagai metode penelitian kuantitatif (quantitative research).
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian meliputi seluruh pegawai struktural dilingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di pemerintahan Kota Metro. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) merupakan perangkat daerah pada pemerintahan daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang, pada penelitian ini meliputi dinas daerah, dan lembaga teknis daerah yaitu badan daerah dan kantor.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu metode penentuan sampel dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Kriteria sampel penelitian ini yaitu: (1) pegawai struktural SKPD dan serendah-rendahnya eselon 3; (2) menduduki jabatan struktural minimal satu tahun. Penentuan jumlah sampel didasarkan pada ukuran sampel yang disyaratkan dengan analisis data menggunakan Model Persamaan Struktural (SEM). Menurut Ghozali (2008) jumlah sampel yang diperlukan dalam estimasi likelihood dengan SEM berkisar 100 sampai 200 sampel.
Pemerintah Kota Metro terdiri dari 27 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sehingga untuk mendapatkan sampel yang diinginkan dikirimkan kuesioner sebanyak 150 kuesioner dengan ketentuan masing-masing 6 (enam) kuesioner. Namun, untuk badan daerah hanya 5 (lima) kuesioner hal ini disesuaikan dengan persyaratan penentuan responden dengan metode purposive sampling sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Definisi Operasional Variabel
Variabel penelitian ini terdiri dari:
1.Variabel eksogen penelitian ini yaitu keadilan organisasional yang mempengaruhi nilai variabel lain dalam model. Keadilan organisasional dalam hal ini diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) oleh pegawai Pemerintah Kota Metro. Diskriminasi yang dirasakan merupakan persepsi pegawai mengenai adanya potensi bias dalam proses pembuatan keputusan yang meliputi penghargaan organisasi khususnya terkait gaji/tunjangan dan promosi jabatan.
2.Variabel endogen yaitu kepercayaan pada pimpinan, komitmen organisasi dan intensitas kemangkiran pegawai yang dipengaruhi oleh variabel eksogen dalam model, baik pengaruh secara langsung maupun tidak langsung.
Kepercayaan kepada pimpinan merupakan persepsi bahwa pimpinan berniat baik dan relevan terhadap karir dan status pegawai. Komitmen organisasi merupakan kekuatan yang bersifat relatif dan individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Sedangkan Intesitas kemangkiran pegawai menunjukkan adanya niat pegawai pemerintah Kota Metro untuk meninggalkan tugas/pekerjaan di tempat kerjanya.
Masing-masing variabel penelitian di atas diukur menggunakan skala Likert yaitu: 1 sampai dengan 5, dengan ketentuan sebagai berikut:
1 = Sangat tidak setuju
2 = Tidak setuju
3 = Netral
4 = Setuju
5 = Sangat setuju.
Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dikirimkan kepada responden. Kuesioner yaitu pengumpulan data melalui daftar pertanyaan/pernyataan tertulis yang disusun untuk mendapatkan informasi atau keterangan dari beberapa orang. Pendistribusian kuesioner penelitian ini dilakukan dengan cara mail survey, dimana kuesioner disampaikan secara langsung kepada masing-masing kepala SKPD untuk didistribusikan kepada responden sesuai dengan persyaratan responden penelitian. Selanjutnya, kuesioner yang telah diisi/dijawab akan diambil oleh peneliti sesuai waktu yang ditentukan.
Teknik Analisis Data
Uji Non Respon Bias
Pengujian non response bias dilakukan untuk mengetahui perbedaan karakteristik jawaban dari responden yang mengembalikan kuesioner yang sesuai dengan batas waktu pengembalian dengan responden yang terlambat mengembalikan kuesioner. Pengujian non response bias dilakukan dengan uji independen sampel t-test. Apabila nilai t hitung menunjukkan tingkat signifikansi di atas 0,05 dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor jawaban pada dua kelompok responden, sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok berasal dari populasi yang sama.
Statistik Deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan dalam penelitian ini untuk mengetahui gambaran secara umum mengenai data responden penelitian. Menurut Ghozali (2008), statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum dan minimum data yang menggambarkan profil responden.
Analisis Structural Equation Modeling (SEM)
Semua hipotesis penelitian ini akan dianalisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan software AMOS versi 16.0. Berdasarkan kajian teoritis yang ada dapat dibuat gambar diagram jalur hubungan kausalitas antar konstruk beserta indikatornya sebagai berikut:
Penelitian ini akan menguji hubungan kausalitas sehingga menggunakan matriks varian dan kovarian (Hair et al. 1998). Teknik estimasi yang dipergunakan adalah Maximum Likelihood Estimation. Estimasi structural equation model dilakukan dengan analisis full model untuk melihat kesesuaian model dan hubungan kausalitas yang dibangun dalam model uji.
1.Estimasi model pengukuran
Untuk menguji unidimensional dari konstruk eksogen dan endogen digunakan teknik confirmatory factor analysis. Jika probabilitas yang dihasilkan signifikan berarti hipotesis yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara matriks kovarians sampel dan matriks kovarians populasi yang diestimasikan tidak dapat ditolak atau hipotesis nol diterima sehingga digunakan uji-t terhadap regression weight. Jika critical ratio (CR) > 2,0 menunjukkan variabel-variabel tersebut secara signifikan merupakan dimensi dari variabel laten yang dibentuk (Ferdinand 2006).
2.Model persamaan struktur
Estimasi terhadap model persamaan struktur dilakukan dengan menganalisis model untuk melihat kesesuaian model dan hubungan kausalitas yang dibangun dengan model yang diuji. Jika tingkat signifikansi terhadap Chi- square (X) adalah p > 0,05, maka model tersebut sesuai dengan data yang tersedia.
Sedangkan kesesuaian model penelitian ini dievaluasi dengan telaah berbagai kriteria goodness-of-fit. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi asumsi-asumsi SEM, sebagai berikut:
a.Ukuran Sampel
Penentuan sampel minimum dalam penelitian ini menggunakan teknik Maximum Likelihood Estimation. Menurut Ferdinand (2006) ukuran sampel yang harus dipenuhi dalam permodelan teknik Maximum Likelihood Estimation ini adalah minimum berjumlah 100 sampel.
b.Evaluasi terpenuhinya asumsi normalitas data
Normalitas univariat dan multivariat dievaluasi dengan menggunakan tabel yang dihasilkan dari penggunaan program AMOS. Dengan menggunakan kriteria nilai kritis (critical ratio) sebesar 1,96 pada tingkat signifikansi 0,05. Jika critical ratio dari masing-masing variabel lebih besar atau sama dengan 1,96 maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan mempunyai sebaran yang tidak normal.
c.Outliers
Outliers adalah observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim baik secara univariat maupun multivariat yang muncul kaarena kombinasi karakteristik unik yang dimilikinya dan terlihat sangat jauh berbeda dari observasi-observasi lainnya.
d.Multicolinearity dan Singularity
Determinan dari matriks kovarians sampel lebih besar dari nol dapat disimpulkan tidak terjadi Multicolinearity dan Singularity, maka data layak digunakan.
e.Evaluasi indeks goodness-of- fit
Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk melihat suatu model diterima atau ditolak, yaitu:
1)Significance Probability (p) untuk menguji tingkat signifikansi model.
2)The Root Mean Square Error Of Approximation (RMSEA) merupakan sebuah indeks yang dapat digunakan untuk mengkompensasi Chi-square statistic dalam sampel yang besar. Nilai yang dapat diterima berkisar antara 0,05-0,08.
3)Goodness-of- fit Index (GFI). Kriteria yang digunakan antara 0 (poor fit) sampai dengan 1 (better fit). Nilai yang mendekati 1 menunjukkan tingkat kesesuaian yang semakin baik.
4)Adjusted Goodness-of Fit Index (AGFI). AGFI merupakan perluasan dari GFI dengan nilai yang disesuaikan dengan rasio derajat kebebasan (degree of freedom). AGFI yang diterima jika nilainya lebih besar atau sama dengan 0,9.
5)Tucker Lewis Index (TLI) yang membandingkan model yang diuji dengan baseline model. Nilai yang direkomendasikan sama atau > 0,95 dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan very good fit.
Sebuah model dinyatakan layak jika masing-masing indeks tersebut mempunyai cut of value seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut:
TABEL 4.1.
GOODNESS OF FIT INDECES
Chi-square χ2 Diharapkan kecil
Significance Probability ≥ 0.05
RMSEA ≤ 0.08
GFI ≥ 0.90
AGFI ≥ 0.90
TLI ≥ 0.95
Sumber: Ferdinand (2006)
Langkah terakhir dalam analisis SEM adalah menginterpretasikan dan memodifikasi bagi model-model yang tidak memenuhi syarat pengujian yang dilakukan. Untuk modifikasi sebuah model perlu mengamati standardized residual yang dihasilkan oleh model tersebut. Model yang baik mempunyai standardized residual varian yang kecil (Ferdinand, 2006). Batas keamanan untuk jumlah residual adalah 0,05. Bila jumlah residual lebih besar dari 0,05 dari semua residual kovarians yang dihasilkan oleh model, maka sebuah model perlu dimodifikasi. Selanjunya, Ferdinand (2006) menyatakan apabila nilai residual yang dihasilkan ≥ 1,96 dan diinterpretasikan sebagai signifikan secara statistik pada tingkat 0,05 menunjukkan adanya prediction error yang substansial untuk sepasang indikator.
Pengujian Hipotesis
Untuk menguji hipotesis mengenai kausalitas yang dikembangkan dalam model ini, perlu diuji hipotesis nol yang menyatakan bahwa koefisien regresi antara hubungan adalah sama dengan nol melalui pengamatan terhadap nilai regression weight pada kolom critical ratio (CR) yang dihasilkan oleh program AMOS. Nilai CR dibandingkan dengan nilai kritisnya yaitu ± 1,96 dengan tingkat signifikansi 0,05. Apabila nilai CR > ± 1,96 dengan tingkat signifikansi < 0,05 maka varibel eksogen berpengaruh terhadap variabel endogen. Dan apabila nilai CR < ± 1,96 dengan tingkat signifikansi > 0,05 maka varibel eksogen tidak berpengaruh terhadap variabel endogen.
Sedangkan Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung model yang dianalisis dapat diidentifikasi melalui path coefficients yang dihasilkan oleh program Amos. Dari path coefficients tersebut perlu dipisahkan antara pengaruh total standar dari pengaruh langsung standar. Apabila pengaruh total standar sama dengan pengaruh langsung standar menunjukkan tidak terdapat pengaruh lain yang dapat mempengaruhi intensitas kemangkiran pegawai. Sebaliknya, jika pengaruh total standar tidak sama dengan pengaruh langsung standar maka dapat diketahui besarnya pengaruh masing-masing dari coefficient tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan berpengruh negatif secara signifikan terhadap kepercayaan pada pimpinan. Temuan penelitian ini konsisten dengan beberapa hasil penelitian, seperti Hopwood (1972); dan Lau et al. (2008) yang menemukan bahwa keadilan organisasional cenderung menambah kepercayaan bawahan kepada pimpinan. Demikian sebaliknya, diskriminasi yang dirasakan dapat menciptakan rendahnya kepercayaan pegawai pada pimpinan.
2.Keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap komitmen organisasi. Temuan penelitian ini konsisten dengan beberapa hasil penelitian, seperti Parker dan Kohlmeyer (2005) yang menyatakan secara keseluruhan diskriminasi yang dirasakan secara negatif mempengaruhi komitmen organisasi.
3.Keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap komitmen organisasi. Hasil Penelitian ini konsisten dengan Parker dan Kohlmeyer (2005), yang menemukan bahwa persepsi keadilan yang diproksikan dalam diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) mempengaruhi tingkat intensitas kemangkiran pegawai.
4.Kepercayaan pada pimpinan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap intensitas kemangkiran pegawai. Dengan demikian, kepercayaan pada pimpinan tidak dapat menjadi variabel intermediasi antara pengaruh keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan terhadap intensitas kemangkiran pegawai.
5.Komitmen organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap intensitas kemangkiran pegawai di Pemerintah Daerah Kota Metro. Dengan demikian, komitmen organisasi tidak dapat menjadi variabel intermediasi antara pengaruh keadilan organisasional yang diproksikan dengan diskriminasi yang dirasakan terhadap intensitas kemangkiran pegawai. Oleh karena itu, penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian sebelumnya seperti Parker dan Kohlmeyer (2005) yang menemukan bahwa komitmen organisasi berpengaruh negatif secara signifikan terhadap intensitas kemangkiran pegawai.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang diajukan sebagai berikut: Pertama, perlunya pimpinan organisasi pemerintah daerah untuk memperhatikan keadilan organisasional karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap kepercayaan pada pimpinan, dapat meningkatkan komitmen organisasi serta mengurangi tingkat intensitas kemangkiran pegawai. Kedua, keadilan organisasional meliputi: keadilan prosedural, keadila distributive dan keadilan interaksional; yang ciptakan dalam beberapa hal, seperti: konsistensi dari waktu ke waktu, akurasi data, adanya umpan balik dari pegawai, dan mendasarkan pada aspek moralitas.
Langganan:
Postingan (Atom)