BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada pemerintahan daerah evaluasi kinerja dimaksudkan untuk menilai tingkat kuantitas, kualitas dan efisiensi layanan serta dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan pelaksanaan pekerjaan. Selain itu, evaluasi kinerja dapat mendorong perbaikan kinerja pegawai. Perbaikan kinerja ini tentunya sangat tergantung bagaimana sikap dan perilaku pegawai yang timbul dari persepsi individu terhadap evaluasi kinerja yang dijalankan. Horngren et al., Merchant and Stede (dalam Lau dan Eggleton, 2008) menjelaskan bahwa prosedur-prosedur evaluasi kinerja dipilih untuk diinvestigasi karena desain pengendalian manajemen, termasuk evaluasi kinerja yang tepat dan pemberian kompensasi adalah sebuah fungsi manajemen yang sangat penting untuk menghasilkan sikap dan perilaku karyawan yang positif.
Prosedur evaluasi kinerja pada organisasi pemerintahan daerah dianggap adil apabila sesuai dengan aturan atau norma-norma keadilan. Menurut Laventhal (dalam Lau dan Eggleton, 2008) norma-norma keadilan tersebut yaitu konsistensi, berdasarkan informasi yang akurat, representatif dan etis. Makna konsistensi mangacu pada aplikasi prosedur secara konsisten. Prosedur juga dianggap adil jika keputusan-keputusan dibuat berdasarkan informasi yang akurat. Representatif menjelaskan adanya nilai, perhatian-perhatian dan kepentingan bawahan sebagai dasar pertimbangan bagi pimpinan. Sedangkan etis menunjukan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan standar etika dan moralitas.
Konsep-konsep tentang keadilan distributif dilandasi oleh prinsip kesetaraan (principle of equity) saat hasil yang diterima oleh pegawai proporsional dengan kontribusinya. Adams (dalam Lau dan Eggleton, 2008) mengemukakan bahwa kesetaraan (equity) adalah sebuah norma yang mendasar, maka orang akan mengalami tekanan ketidaksetaraan (inequity distress) apabila alokasi hasil diantara anggota organisasi tidak proporsional dengan kontribusi. Pengaruh berbasis hasil (outcome based effects) melalui keadilan distributif telah mendapatkan kritisi karena hanya mempertimbangkan satu dimensi sehingga kurang memberikan manfaat sesuai yang diharapkan (Lau dan Moser, 2008).
Penelitian Dollyno (2008) menemukan beberapa hal penting mengenai hubungan keadilan evaluasi kinerja dan kepuasan kerja pegawai pemerintahan daerah. Pertama, penelitian menemukan bahwa evaluasi kinerja memiliki korelasi positif secara signifikan terhadap komitmen organisasi. Kedua, penelitian menemukan adanya korelasi positif dan signifikan antara evaluasi kinerja dengan kepuasan kerja pegawai. Namun, rata-rata tingkat komitmen dan kepuasan kerja pegawai pada pemerintahan daerah tersebut dapat dikategorikan yaitu sedang (medium).
Berbeda dengan organisasi privat, evaluasi kinerja yang sering digunakan pada pemerintahan daerah biasanya meliputi beberapa unsur yaitu sasaran kerja individu dan evaluasi perilaku kerja. Prosedur evaluasi kinerja sasaran kerja individu dilakukan oleh pimpinan dengan cara membandingkan antara realisasi kerja dengan target dari aspek kuantitas, kualitas serta efisiensi pelaksanaan pekerjaan. Sedangkan evaluasi terhadap perilaku kerja dilakukan melalui pengamatan sesuai kriteria yang telah ditetapkan. Unsur-unsur perilaku kerja pegawai terdiri dari kejujuran, komitmen, disiplin, kerjasama, kreatifitas dan kepemimpinan.
Peningkatan kinerja pegawai pemerintahan di Kota Metro Lampung tampaknya tidak cukup hanya dengan melakukan sidak, tetapi sangat ideal jika disertai memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi psikologis dari pegawai itu sendiri. Menurut Lau dan Moser (2008) pegawai saat ini lebih sadar akan keadilan dan kesetaraan di tempat kerja. Dalam kondisi ini, pegawai mengharapkan agar pimpinan dan pemerintahan daerah bertanggungjawab untuk menciptakan prosedur-prosedur evaluasi kinerja yang adil. Apabila prosedur yang dijalankan oleh pemerintah daerah khususnya Kota Metro ini telah adil, maka besar kemungkinan bahwa kompensasi yang diterima pegawai dianggap adil. Kondisi ini dapat meningkatkan komitmen pegawai dan pada akhirnya kinerja akan meningkat. Namun dalam kenyataannya evaluasi kinerja pada pemerintah Kota Metro sulit dilakukan secara adil, hal ini dikarenakan banyak instansi pemerintahan yang justru kurang atau bahkan tidak mempunyai informasi tentang kinerja pegawai di dalam organisasinya. Informasi yang sangat terbatas ini menimbulkan evaluasi kinerja yang dilaksanakan cenderung banyak menggunakan waktu dan upaya pimpinan sedangkan hasilnya lebih bersifat subyektif. Kondisi seperti ini menunjukan evaluasi kinerja di pemerintah Kota Metro masih menjadi sesuatu yang problematik. Kelemahan dan ketidaktepatan prosedur evaluasi kinerja dapat berakibat terhadap tidak efektifnya pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen, seperti fungsi kompensasi, fungsi pelatihan dan pengembangan pegawai oleh badan Diklat, dan sebagainya. Sedangkan dari perspektif pegawai, evaluasi kinerja adalah kegiatan yang penuh konsekuensi-konsekuensi khususnya berkaitan dengan distribusi hasil (outcome) seperti tambahan gaji/upah, pemberian bonus dan tunjangan-tunjangan lainnya.
Penelitian tentang pengaruh keadilan prosedur evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai ini dimaksudkan untuk memberikan bukti empiris mengenai apakah dan bagaimana keadilan prosedur yang dijalankan pemerintahan Kota Metro dalam mengevaluasi kinerja pegawai dan menentukan kompensasi akan mempengaruhi kinerja pegawai.
1.2 Rumusan Masalah
Prosedur evaluasi kinerja pada organisasi pemerintahan daerah dianggap adil apabila sesuai dengan aturan atau norma-norma keadilan. Menurut Laventhal (dalam Lau dan Eggleton, 2008) norma-norma keadilan tersebut yaitu konsistensi, berdasarkan informasi yang akurat, representatif dan etis. Makna konsistensi mangacu pada aplikasi prosedur secara konsisten. Prosedur juga dianggap adil jika keputusan-keputusan dibuat berdasarkan informasi yang akurat. Representatif menjelaskan adanya nilai, perhatian-perhatian dan kepentingan bawahan sebagai dasar pertimbangan bagi pimpinan. Sedangkan etis menunjukan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan standar etika dan moralitas.
Konsep-konsep tentang keadilan distributif dilandasi oleh prinsip kesetaraan (principle of equity) saat hasil yang diterima oleh pegawai proporsional dengan kontribusinya. Adams (dalam Lau dan Eggleton, 2008) mengemukakan bahwa kesetaraan (equity) adalah sebuah norma yang mendasar, maka orang akan mengalami tekanan ketidaksetaraan (inequity distress) apabila alokasi hasil diantara anggota organisasi tidak proporsional dengan kontribusi. Pengaruh berbasis hasil (outcome based effects) melalui keadilan distributif telah mendapatkan kritisi karena hanya mempertimbangkan satu dimensi sehingga kurang memberikan manfaat sesuai yang diharapkan (Lau dan Moser, 2008).
Penelitian Dollyno (2008) menemukan beberapa hal penting mengenai hubungan keadilan evaluasi kinerja dan kepuasan kerja pegawai pemerintahan daerah. Pertama, penelitian menemukan bahwa evaluasi kinerja memiliki korelasi positif secara signifikan terhadap komitmen organisasi. Kedua, penelitian menemukan adanya korelasi positif dan signifikan antara evaluasi kinerja dengan kepuasan kerja pegawai. Namun, rata-rata tingkat komitmen dan kepuasan kerja pegawai pada pemerintahan daerah tersebut dapat dikategorikan yaitu sedang (medium).
Berbeda dengan organisasi privat, evaluasi kinerja yang sering digunakan pada pemerintahan daerah biasanya meliputi beberapa unsur yaitu sasaran kerja individu dan evaluasi perilaku kerja. Prosedur evaluasi kinerja sasaran kerja individu dilakukan oleh pimpinan dengan cara membandingkan antara realisasi kerja dengan target dari aspek kuantitas, kualitas serta efisiensi pelaksanaan pekerjaan. Sedangkan evaluasi terhadap perilaku kerja dilakukan melalui pengamatan sesuai kriteria yang telah ditetapkan. Unsur-unsur perilaku kerja pegawai terdiri dari kejujuran, komitmen, disiplin, kerjasama, kreatifitas dan kepemimpinan.
Peningkatan kinerja pegawai pemerintahan di Kota Metro Lampung tampaknya tidak cukup hanya dengan melakukan sidak, tetapi sangat ideal jika disertai memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi psikologis dari pegawai itu sendiri. Menurut Lau dan Moser (2008) pegawai saat ini lebih sadar akan keadilan dan kesetaraan di tempat kerja. Dalam kondisi ini, pegawai mengharapkan agar pimpinan dan pemerintahan daerah bertanggungjawab untuk menciptakan prosedur-prosedur evaluasi kinerja yang adil. Apabila prosedur yang dijalankan oleh pemerintah daerah khususnya Kota Metro ini telah adil, maka besar kemungkinan bahwa kompensasi yang diterima pegawai dianggap adil. Kondisi ini dapat meningkatkan komitmen pegawai dan pada akhirnya kinerja akan meningkat. Namun dalam kenyataannya evaluasi kinerja pada pemerintah Kota Metro sulit dilakukan secara adil, hal ini dikarenakan banyak instansi pemerintahan yang justru kurang atau bahkan tidak mempunyai informasi tentang kinerja pegawai di dalam organisasinya. Informasi yang sangat terbatas ini menimbulkan evaluasi kinerja yang dilaksanakan cenderung banyak menggunakan waktu dan upaya pimpinan sedangkan hasilnya lebih bersifat subyektif. Kondisi seperti ini menunjukan evaluasi kinerja di pemerintah Kota Metro masih menjadi sesuatu yang problematik. Kelemahan dan ketidaktepatan prosedur evaluasi kinerja dapat berakibat terhadap tidak efektifnya pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen, seperti fungsi kompensasi, fungsi pelatihan dan pengembangan pegawai oleh badan Diklat, dan sebagainya. Sedangkan dari perspektif pegawai, evaluasi kinerja adalah kegiatan yang penuh konsekuensi-konsekuensi khususnya berkaitan dengan distribusi hasil (outcome) seperti tambahan gaji/upah, pemberian bonus dan tunjangan-tunjangan lainnya.
Penelitian tentang pengaruh keadilan prosedur evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai ini dimaksudkan untuk memberikan bukti empiris mengenai apakah dan bagaimana keadilan prosedur yang dijalankan pemerintahan Kota Metro dalam mengevaluasi kinerja pegawai dan menentukan kompensasi akan mempengaruhi kinerja pegawai.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah keadilan prosedur evaluasi kinerja berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap kinerja pegawai melalui variabel mediasi berbasis hasil (keadilan distributif)?
2) Bagaimanakah keadilan prosedur evaluasi kinerja berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap kinerja pegawai melalui variabel mediasi berbasis non hasil yaitu kepercayaan kepada pimpinan dan komitmen organisasi?
1) Bagaimanakah keadilan prosedur evaluasi kinerja berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap kinerja pegawai melalui variabel mediasi berbasis hasil (keadilan distributif)?
2) Bagaimanakah keadilan prosedur evaluasi kinerja berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap kinerja pegawai melalui variabel mediasi berbasis non hasil yaitu kepercayaan kepada pimpinan dan komitmen organisasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh keadilan prosedur evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai, baik pengaruh langsung maupun tidak langsung melalui variabel mediasi berbasis hasil atau keadilan distributif.
2) Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh keadilan prosedur evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai, baik pengaruh langsung maupun tidak langsung melalui variabel mediasi berbasis non hasil yaitu kepercayaan kepada pimpinan dan komitmen organisasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
1) Pengembangan teori pengendalian manajemen khususnya mengenai model hubungan antara keadilan prosedur evaluasi kinerja dengan kinerja pegawai berdasarkan studi empiris pada organisasi sektor publik.
2) Penelitian juga diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis bagi organisasi yang melakukan evaluasi kinerja kepada pegawainya khususnya bagi Pemerintah Daerah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.2.1 Keadilan Prosedur Evaluasi Kinerja
Keadilan prosedur dalam penilaian kinerja menunjukan seberapa adilkah norma-norma sosial di dalam suatu perusahaan khususnya berkenaan dengan dua hal, yaitu: bagaimana keputusan dibuat dan bagaimana orang diperlakukan oleh pihak-pihak lain (Lau dan Eggleton, 2008). Leventhal (dalam Lau dan Eggleton 2008) menjelaskan bahwa sesuatu dianggap adil apabila memenuhi norma-norma keadilan. Beberapa norma atau aturan keadilan yang dimaksud meliputi: (1) konsisten dari waktu ke waktu dan satu orang ke orang lainnya; (2) disusun berdasar data atau informasi yang akurat; (3) representatif; serta (4) berdasar standar etika dan moral.
Prosedur evaluasi kinerja harus dirancang dengan baik sehingga mampu menciptakan rancangan yang adil dan efektif. Secara umum perancangan prosedur tersebut diperlukan empat langkah, yaitu: (1) Mengidentifikasikan secara jelas organisasi melakukan evaluasi kinerja. (2) Melibatkan karyawan maupun manajer dalam perancangan prosedur evaluasi. (3) Mengembangkan prosedur dan instrumen yang mudah digunakan dan mencerminkan peringkat kinerja yang berhubungan dengan pekerjaan. (4) Melakukan pelatihan personalia.
Lind dan Tyler (1988) dalam teori kepentingan diri menjelaskan bagaimana seseorang akan merasa yakin bahwa suatu saat nanti akan mendapatkan keuntungan jangka panjang, yaitu dengan cara memberi reaksi semakin positif terhadap prosedur yang adil dengan harapan bahwa hasil yang diperoleh dari prosedur tersebut juga semakin adil. Konsekuensi menerima hasil yang adil memiliki kecenderungan untuk menghasilkan tingkat kinerja yang lebih tinggi.
Selanjutya, teori nilai kelompok (group value theory) oleh Lind dan Tyler (1988) mengemukakan bahwa prosedur perusahaan (kelompok) yang memperlakukan anggotanya secara adil memicu hasil perusahaan yang positif, bukan karena prosedur semacam ini memberikan outcome yang adil melainkan karena pentingnya orang untuk masuk dan berafiliasi di dalam kelompok. Teori nilai kelompok menunjukkan bahwa seseorang pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang perlu berafiliasi atau berbaur dengan orang lain dan memberi nilai bagi keanggotaan kelompok. Sehingga keadilan dengan cara memperlakukan seseorang melalui kelompok sangatlah penting karena dianggap sebagai “penanda” yang nyata dari keanggotaan kelompok dan memberikan keberadaan/kehormatan. Maka dari itu keadilan prosedur dapat meningkatkan kepuasan kerja maupun kinerja pegawai karena kemampuannya memberikan hasil yang berhubungan dengan keanggotaan kelompok, yaitu kepercayaan kepada pimpinan dan komitmen organisasi.
2.1.2 Keadilan Distributif
Menurut Greenberg dan Folger (1983), apabila suatu proses dianggap adil, maka akan semakin besar kecenderungannya bahwa hasil yang diperoleh dari proses tersebut juga akan dianggap adil. Keadilan distributif menunjukan seberapa adil hasil (outcome) yang diterima karyawan sehubungan dengan usaha yang dilakukannya. Dalam penerapan keadilan distributif terdapat tiga prinsip yang sering digunakan, yaitu: (1). Prinsip dengan teori equity. (2). Prinsip ekualitas. (3). Prinsip berdasarkan kebutuhan sebagai pertimbangan distribusi.
2.1.3 Kepercayaan terhadap Pimpinan
Menurut Robins (2006) kepercayaan adalah pengharapan positif bahwa orang lain tidak akan bertindak secara oportunistik. Masih menurut Robins (2006) jenis kepercayaan dalam hubungannya dengan organisasi/perusahaan, dibagi tiga macam yaitu: (1). Kepercayaan berbasis ketakutan. (2). Kepercayaan berbasis pengetahuan. (3). Kepercayaan berbasis identifikasi. Dengan demikian pimpinan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan keadaan yang menunjang terciptanya kepercayaan melalui kebijakan-kebijakan yang disusun berdasarkan konsep keadilan prosedural.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh keadilan prosedur evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai, baik pengaruh langsung maupun tidak langsung melalui variabel mediasi berbasis hasil atau keadilan distributif.
2) Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh keadilan prosedur evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai, baik pengaruh langsung maupun tidak langsung melalui variabel mediasi berbasis non hasil yaitu kepercayaan kepada pimpinan dan komitmen organisasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
1) Pengembangan teori pengendalian manajemen khususnya mengenai model hubungan antara keadilan prosedur evaluasi kinerja dengan kinerja pegawai berdasarkan studi empiris pada organisasi sektor publik.
2) Penelitian juga diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis bagi organisasi yang melakukan evaluasi kinerja kepada pegawainya khususnya bagi Pemerintah Daerah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.2.1 Keadilan Prosedur Evaluasi Kinerja
Keadilan prosedur dalam penilaian kinerja menunjukan seberapa adilkah norma-norma sosial di dalam suatu perusahaan khususnya berkenaan dengan dua hal, yaitu: bagaimana keputusan dibuat dan bagaimana orang diperlakukan oleh pihak-pihak lain (Lau dan Eggleton, 2008). Leventhal (dalam Lau dan Eggleton 2008) menjelaskan bahwa sesuatu dianggap adil apabila memenuhi norma-norma keadilan. Beberapa norma atau aturan keadilan yang dimaksud meliputi: (1) konsisten dari waktu ke waktu dan satu orang ke orang lainnya; (2) disusun berdasar data atau informasi yang akurat; (3) representatif; serta (4) berdasar standar etika dan moral.
Prosedur evaluasi kinerja harus dirancang dengan baik sehingga mampu menciptakan rancangan yang adil dan efektif. Secara umum perancangan prosedur tersebut diperlukan empat langkah, yaitu: (1) Mengidentifikasikan secara jelas organisasi melakukan evaluasi kinerja. (2) Melibatkan karyawan maupun manajer dalam perancangan prosedur evaluasi. (3) Mengembangkan prosedur dan instrumen yang mudah digunakan dan mencerminkan peringkat kinerja yang berhubungan dengan pekerjaan. (4) Melakukan pelatihan personalia.
Lind dan Tyler (1988) dalam teori kepentingan diri menjelaskan bagaimana seseorang akan merasa yakin bahwa suatu saat nanti akan mendapatkan keuntungan jangka panjang, yaitu dengan cara memberi reaksi semakin positif terhadap prosedur yang adil dengan harapan bahwa hasil yang diperoleh dari prosedur tersebut juga semakin adil. Konsekuensi menerima hasil yang adil memiliki kecenderungan untuk menghasilkan tingkat kinerja yang lebih tinggi.
Selanjutya, teori nilai kelompok (group value theory) oleh Lind dan Tyler (1988) mengemukakan bahwa prosedur perusahaan (kelompok) yang memperlakukan anggotanya secara adil memicu hasil perusahaan yang positif, bukan karena prosedur semacam ini memberikan outcome yang adil melainkan karena pentingnya orang untuk masuk dan berafiliasi di dalam kelompok. Teori nilai kelompok menunjukkan bahwa seseorang pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang perlu berafiliasi atau berbaur dengan orang lain dan memberi nilai bagi keanggotaan kelompok. Sehingga keadilan dengan cara memperlakukan seseorang melalui kelompok sangatlah penting karena dianggap sebagai “penanda” yang nyata dari keanggotaan kelompok dan memberikan keberadaan/kehormatan. Maka dari itu keadilan prosedur dapat meningkatkan kepuasan kerja maupun kinerja pegawai karena kemampuannya memberikan hasil yang berhubungan dengan keanggotaan kelompok, yaitu kepercayaan kepada pimpinan dan komitmen organisasi.
2.1.2 Keadilan Distributif
Menurut Greenberg dan Folger (1983), apabila suatu proses dianggap adil, maka akan semakin besar kecenderungannya bahwa hasil yang diperoleh dari proses tersebut juga akan dianggap adil. Keadilan distributif menunjukan seberapa adil hasil (outcome) yang diterima karyawan sehubungan dengan usaha yang dilakukannya. Dalam penerapan keadilan distributif terdapat tiga prinsip yang sering digunakan, yaitu: (1). Prinsip dengan teori equity. (2). Prinsip ekualitas. (3). Prinsip berdasarkan kebutuhan sebagai pertimbangan distribusi.
2.1.3 Kepercayaan terhadap Pimpinan
Menurut Robins (2006) kepercayaan adalah pengharapan positif bahwa orang lain tidak akan bertindak secara oportunistik. Masih menurut Robins (2006) jenis kepercayaan dalam hubungannya dengan organisasi/perusahaan, dibagi tiga macam yaitu: (1). Kepercayaan berbasis ketakutan. (2). Kepercayaan berbasis pengetahuan. (3). Kepercayaan berbasis identifikasi. Dengan demikian pimpinan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan keadaan yang menunjang terciptanya kepercayaan melalui kebijakan-kebijakan yang disusun berdasarkan konsep keadilan prosedural.
2.1.4 Komitmen Organisasi
Porter (dalam Arfan dan Ishak 2005) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dan individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Mowday et al., (dalam Arfan dan Ishak 2005) menjelaskan bahwa komitmen organisasi dapat terbangun apabila masing-masing individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi dan profesinya, yaitu: (1) identifikasi (identification), yaitu pemahaman atau penghayatan terhadap tujuan organisasi; (2) keterlibatan (involvement), yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan; dan (3) loyalitas (loyality), yaitu perasaan bahwa organisasi adalah tempatnya bekerja dan tinggal.
2.1.5 Kinerja Pegawai
Kinerja secara etimologi berasal dari kata prestasi kerja (performance). Rue dan Byars (dalam Keban 2005) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment. Hal ini berarti bahwa, kinerja pegawai dalam suatu organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana pegawai dapat mencapai tujuan atau sasaran pekerjaan yang sudah ditetapkan sebelumnya, misalnya: standard dan target. Prosedur evaluasi kinerja sasaran kerja individu dilakukan oleh pimpinan dengan cara membandingkan antara realisasi kerja dengan target dari aspek kuantitas, kualitas serta efisiensi pelaksanaan pekerjaan. Sedangkan evaluasi terhadap perilaku kerja dilakukan melalui pengamatan sesuai kriteria yang telah ditetapkan. Unsur-unsur perilaku kerja pegawai terdiri dari kejujuran, komitmen, disiplin, kerjasama, kreatifitas dan kepemimpinan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Konovsky dan Pugh (1994) dari penelitiannya menemukan adanya hubungan signifikan antara keadilan prosedural terhadap kepercayaan kepada atasan atau manajemen. Sedangkan Folger dan Konovsky (1989) menemukan adanya hubungan positif antara keadilan prosedural terhadap komitmen organisasi. Hasil penelitian ini didukung oleh Wentzel (2002), meskipun sebenarnya fokus perhatian Wentzel adalah komitmen terhadap sasaran bukan komitmen organisasi.
Arief dan Mahfud (2004) melakukan penelitian pada perusahaan-perusahaan di Indonesia tentang hubungan keadilan prosedural terhadap kinerja manajerial. Hasilnya menunjukan adanya hubungan positif dan signifikan. Tetapi fokus perhatian Arief dan Mahfud sebenarnya hubungan antara keadilan prosedural dengan kinerja manajerial dalam proses penyusunan anggaran, bukan kinerja manajerial secara keseluruhan. Sedangkan Riza (2003), berdasarkan penelitiannya menunjukan hasil bahwa keadilan distributif dan keadilan prosedural berkorelasi secara negatif terhadap kinerja manajerial. Dengan demikian, hasil penelitian mengenai hubungan kedua variabel tersebut tidak konsisten.
Penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah (2005) pada pemerintahan daerah menyimpulkan bahwa keadilan distributif tidak berpengaruh positif terhadap komitmen. Sedangkan keadilan prosedural memiliki pengaruh positif terhadap komitmen. Namun, fokus pembahasan Istiqomah (2005) sebenarnya adalah komitmen terhadap sasaran anggaran pada pemerintahan daerah, bukan komitmen organisasi.
Penelitian Lau dan Moser (2008) memberikan sumbangan teoritis yang sangat penting mengenai penggunaan ukuran non keuangan atau basis non hasil dan pengaruhnya terhadap kinerja. Penelitian tersebut menemukan beberapa hal, antara lain: (1) penggunaan ukuran non keuangan mempengaruhi keadilan prosedural, yang selanjutnya mempengaruhi kinerja melalui komitmen organisasi; (2) penggunaan ukuran non keuangan mempengaruhi keadilan prosedural selanjutnya mempengaruhi kinerja tanpa melalui komitmen organisasi. Hal ini berarti terdapat dua model hubungan antara keadilan prosedural terhadap kinerja manajerial yaitu hubungan langsung dan hubungan tidak langsung melalui variabel mediasi yaitu komitmen organisasi.
2.3 Kerangka Konseptual Penelitian
Berdasarkan landasan teoritis dan penelitian terdahulu yang telah diuraikan sebelumnya, menunjukan adanya hubungan antara keadilan prosedur evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai di pemerintah daerah. Meskipun penelitian-penelitian tersebut sebagian besar menggunakan pendekatan analisis bivariat, namun secara sistematis belum dapat mengungkapkan suatu model hubungan yang terpadu.
Gambar 2.1 merupakan model konseptual yang mendasari penelitian ini. Gambar tersebut menunjukan bahwa pengaruh keadilan prosedur evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai pemerintah Kota Metro melalui proses-proses yang berbeda. Proses pertama adalah pengaruh berbasis hasil (outcome based effects). Pengaruh berbasis hasil dapat dihubungkan dengan penggunaan prosedur keadilan yang terbatas untuk pencapaian hasil yang adil yaitu keadilan distributif. Proses kedua adalah pengaruh berbasis non hasil (non outcome based effects). Pengaruh berbasis non hasil berfungsi untuk menjelaskan pengaruh-pengaruh emosional yang meliputi sikap-sikap positif pegawai kepada organisasi dan pimpinan. Sikap-sikap positif pegawai tersebut yaitu kepercayaan terhadap pimpinan dan komitmen organisasi.
Porter (dalam Arfan dan Ishak 2005) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dan individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Mowday et al., (dalam Arfan dan Ishak 2005) menjelaskan bahwa komitmen organisasi dapat terbangun apabila masing-masing individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi dan profesinya, yaitu: (1) identifikasi (identification), yaitu pemahaman atau penghayatan terhadap tujuan organisasi; (2) keterlibatan (involvement), yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan; dan (3) loyalitas (loyality), yaitu perasaan bahwa organisasi adalah tempatnya bekerja dan tinggal.
2.1.5 Kinerja Pegawai
Kinerja secara etimologi berasal dari kata prestasi kerja (performance). Rue dan Byars (dalam Keban 2005) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment. Hal ini berarti bahwa, kinerja pegawai dalam suatu organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana pegawai dapat mencapai tujuan atau sasaran pekerjaan yang sudah ditetapkan sebelumnya, misalnya: standard dan target. Prosedur evaluasi kinerja sasaran kerja individu dilakukan oleh pimpinan dengan cara membandingkan antara realisasi kerja dengan target dari aspek kuantitas, kualitas serta efisiensi pelaksanaan pekerjaan. Sedangkan evaluasi terhadap perilaku kerja dilakukan melalui pengamatan sesuai kriteria yang telah ditetapkan. Unsur-unsur perilaku kerja pegawai terdiri dari kejujuran, komitmen, disiplin, kerjasama, kreatifitas dan kepemimpinan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Konovsky dan Pugh (1994) dari penelitiannya menemukan adanya hubungan signifikan antara keadilan prosedural terhadap kepercayaan kepada atasan atau manajemen. Sedangkan Folger dan Konovsky (1989) menemukan adanya hubungan positif antara keadilan prosedural terhadap komitmen organisasi. Hasil penelitian ini didukung oleh Wentzel (2002), meskipun sebenarnya fokus perhatian Wentzel adalah komitmen terhadap sasaran bukan komitmen organisasi.
Arief dan Mahfud (2004) melakukan penelitian pada perusahaan-perusahaan di Indonesia tentang hubungan keadilan prosedural terhadap kinerja manajerial. Hasilnya menunjukan adanya hubungan positif dan signifikan. Tetapi fokus perhatian Arief dan Mahfud sebenarnya hubungan antara keadilan prosedural dengan kinerja manajerial dalam proses penyusunan anggaran, bukan kinerja manajerial secara keseluruhan. Sedangkan Riza (2003), berdasarkan penelitiannya menunjukan hasil bahwa keadilan distributif dan keadilan prosedural berkorelasi secara negatif terhadap kinerja manajerial. Dengan demikian, hasil penelitian mengenai hubungan kedua variabel tersebut tidak konsisten.
Penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah (2005) pada pemerintahan daerah menyimpulkan bahwa keadilan distributif tidak berpengaruh positif terhadap komitmen. Sedangkan keadilan prosedural memiliki pengaruh positif terhadap komitmen. Namun, fokus pembahasan Istiqomah (2005) sebenarnya adalah komitmen terhadap sasaran anggaran pada pemerintahan daerah, bukan komitmen organisasi.
Penelitian Lau dan Moser (2008) memberikan sumbangan teoritis yang sangat penting mengenai penggunaan ukuran non keuangan atau basis non hasil dan pengaruhnya terhadap kinerja. Penelitian tersebut menemukan beberapa hal, antara lain: (1) penggunaan ukuran non keuangan mempengaruhi keadilan prosedural, yang selanjutnya mempengaruhi kinerja melalui komitmen organisasi; (2) penggunaan ukuran non keuangan mempengaruhi keadilan prosedural selanjutnya mempengaruhi kinerja tanpa melalui komitmen organisasi. Hal ini berarti terdapat dua model hubungan antara keadilan prosedural terhadap kinerja manajerial yaitu hubungan langsung dan hubungan tidak langsung melalui variabel mediasi yaitu komitmen organisasi.
2.3 Kerangka Konseptual Penelitian
Berdasarkan landasan teoritis dan penelitian terdahulu yang telah diuraikan sebelumnya, menunjukan adanya hubungan antara keadilan prosedur evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai di pemerintah daerah. Meskipun penelitian-penelitian tersebut sebagian besar menggunakan pendekatan analisis bivariat, namun secara sistematis belum dapat mengungkapkan suatu model hubungan yang terpadu.
Gambar 2.1 merupakan model konseptual yang mendasari penelitian ini. Gambar tersebut menunjukan bahwa pengaruh keadilan prosedur evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai pemerintah Kota Metro melalui proses-proses yang berbeda. Proses pertama adalah pengaruh berbasis hasil (outcome based effects). Pengaruh berbasis hasil dapat dihubungkan dengan penggunaan prosedur keadilan yang terbatas untuk pencapaian hasil yang adil yaitu keadilan distributif. Proses kedua adalah pengaruh berbasis non hasil (non outcome based effects). Pengaruh berbasis non hasil berfungsi untuk menjelaskan pengaruh-pengaruh emosional yang meliputi sikap-sikap positif pegawai kepada organisasi dan pimpinan. Sikap-sikap positif pegawai tersebut yaitu kepercayaan terhadap pimpinan dan komitmen organisasi.
2.4 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
H1a: Keadilan prosedur evaluasi kinerja berhubungan positif dengan keadilan hasil (keadilan distributif)
H1b: Keadilan hasil berhubungan positif dengan kinerja pegawai.
H1c: Keadilan prosedur evaluasi kinerja memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kinerja melalui keadilan hasil.
H2a: Keadilan prosedur evaluasi kinerja berhubungan positif dengan kepercayaan bawahan kepada pimpinan.
H2b: Kepercayaan kepada pimpinan berhubungan positif dengan kinerja pegawai.
H2c: Keadilan prosedur evaluasi kinerja memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kinerja pegawai melalui kepercayaan kepada pimpinan.
H3a: Keadilan prosedur evaluasi kinerja berhubungan positif dengan komitmen organisasi.
H3b: Komitmen organisasi berhubungan positif dengan kinerja pegawai.
H3c: Keadilan prosedur evaluasi kinerja memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kinerja pegawai melalui komitmen organisasi.
H4: Kepercayaan pegawai kepada pimpinan berhubungan positif dengan komitmen organisasi.
Adapun hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
H1a: Keadilan prosedur evaluasi kinerja berhubungan positif dengan keadilan hasil (keadilan distributif)
H1b: Keadilan hasil berhubungan positif dengan kinerja pegawai.
H1c: Keadilan prosedur evaluasi kinerja memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kinerja melalui keadilan hasil.
H2a: Keadilan prosedur evaluasi kinerja berhubungan positif dengan kepercayaan bawahan kepada pimpinan.
H2b: Kepercayaan kepada pimpinan berhubungan positif dengan kinerja pegawai.
H2c: Keadilan prosedur evaluasi kinerja memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kinerja pegawai melalui kepercayaan kepada pimpinan.
H3a: Keadilan prosedur evaluasi kinerja berhubungan positif dengan komitmen organisasi.
H3b: Komitmen organisasi berhubungan positif dengan kinerja pegawai.
H3c: Keadilan prosedur evaluasi kinerja memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kinerja pegawai melalui komitmen organisasi.
H4: Kepercayaan pegawai kepada pimpinan berhubungan positif dengan komitmen organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar